Dasar Dasar Hukum Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)

Dasar Dasar Hukum Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dunia ilmu
Dasar Dasar Hukum Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dunia ilmu

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aswaja Adalah Golongan yang konsisten mengikuti tradisi dan metode yang dipraktekkan Nabi dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi al-yauma wa ashabi) (Al-Syarwi, 2015:xiii).

Aswaja dalam konteks Indonesia adalah golongan yang secara mayoritas mengikuti imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang akidah, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam bidang fiqih, dan Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Hasan Asy-Syadzili dalam bidang Tasawuf. Al-Asy’ari menjadi simbol Aswaja karena dua hal. Pertama, kepercayaan ummat Islam, khususnya para ulama’ dari berbagai kalangan kepada beliau yang wara’, zuhud, ahli ibadah dan berakhlak mulia. Kedua, kreativitas dan intensitas para ulama’ dalam menyebarluaskan paham Al-Asy’ari.

Dalam konteks dakwah, Aswaja mengedepankan cara-cara harmoni dan mengindari anarki, mengajak orang lain kejalan kebenaran dilakukan dengan kearifan dan kebijaksanaan, nasehat yang baik, dan perdebatan secara santun. Ekstrimisme, radikalisme, dan fundamentalisme yang mengedepankan cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak,bahkan menghalalkan darah manusia adalah tindakan yang dikecam oleh Aswaja karena menciderai nilai-nilai Islam yang mengajarkan kedamaian, kerukunan, kesantunan, dan kemanusiaan.

Menghadapi era globalisasi yang hiperkompetitif ini, Aswaja harus membuktikan diri sebagai khaira ummah yang mampu melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Tugas ini membutuhkan kekuatan akidah, ilmu, finansial, politik, dan sosial yang kuat. Para kader Aswaja harus mampu sebagai lokomotif perubahan yang lebih baik dalam dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan ekonomii umat dan bangsa. Teologi yang dibangun Aswaja harus mampumenjadi sumber energi dan inspirasi untuk mengukir prestasi besar dalam membangun umat dan bangsa di seluruh aspek kehidupan.

B. Rumusan Masalah


1. Dasar Hukum Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)

2. Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)

C. Tujuan Makalah

Adapun tujuan makalah ini adalah membahas semua yang terkandung dalam rumusan masalah meliputi dasar hukum dan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).





BAB II

PEMBAHASAN


A. Dasar Hukum Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)


1. Argmanen tentang Aswaja


Aswaja Adalah Golongan yang konsisten mengikuti tradisi dan metode yang dipraktekkan Nabi dan para sahabatnya, mereka adalah panutan dan suri tauladan. Hal ini bertepatan dengan sabda Nabi SAW :

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجد وإياكم ومحدثات الأمور (رواه أحمد)

“wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapatkna petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham kalian! Dan berhati-hatilah kalian dari segara perkara yang diada-adakan (dalam agama)”.




Demikian pula pada hadits al-firqah an-najiyah, ketika Rasulullah SAW mengabarkan :

ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار والناجية منهم واحدة قيل و من الناجية يا رسول الله ؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصابي قيل ومن هم يا رسول الله ؟ قال أهل السنة والحماعة (رواه البخاري ومسلم)

“umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu, siapa mereka wahai Rasulullah ? Rasul berkata : apa yang hari ini aku kerjakan dan para sahabatku. Siapa mereka wahai Rasulullah ? Rasul berkata : Ahlussunnah wal Jama’ah” (HR. Bukhari Muslim).




Di slam hadits yang lain beliau bersabda :

تركتكم على البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك (رواه أحمد)

“telah aku tinggalkan kamu semua di atas (cahaya) putih. Yang malamnya seperti siangnya. Tak ada seorangpun yang menyimpang darinya kecuali ia pasti binasa” (HR. Ahmad).




Para sahabat berpegang teguh dengan sunnah-sunnah Nabi, dan tidak didapati di antara mereka yang celaka. Adapun sebagian orang yang datang setelah mereka, mulai menyimpang. Sebagaimana yang terjadi di akhir-akhir masa para sahabat dan di pertengahan masa para tabi’in. Mulailah tersebar sekian banyak bid’ah. Diawali dengan firqah Khawarij dan ekstrim Rafidhah di akhir kekhalifahan Ali Ibn Abi Thalib. Kemudian beliau mengutus Abdullah Ibn Abbas kepada mereka agar berdialog dengan mereka. Sebagian dari mereka justru menghunuskan pedang atas kaum muslimin, sehingga Ali Ibn Abi Thalib memerangi mereka sebagaimana diperintahkan Rasulullah dulu. Para sahabat di masa beliaupun sepakat akan hal itu. Tidak ada seorangpun di antara merekayang menyelisihinya.

Intinya, bahwa meneladani para sahabat adalah suatu tindakan penyelamatan. Layaknya kapal penyelamat. Hal itu dikarenakan mereka adalah orang-orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, menimba penafsiran secara langsung berupa hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan terhadap suatu ayat beserta penerapannya (Al-Madkhali, 2011:13-15).

2. Dasar pengambilan hukum Aswaja


Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits Nabi merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan umat Islam diharuskan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Qur’an.

Al-Qur’an dan hadits merupakan dua pokok sumber hukum Islam yang telah ditetapkan, yang mana orang Islam tidak mungkinmemhami syariat Islam secara lengkap dan mendalam dengan tanpa kembali kepada dua sumber tersebut. Seorang mujtahid dan seorang yang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu dari keduanya, dan bahkan jumhur ulama’ masih membutuhkan metode pengambilan hukum lain, seperti ijma’ dan qiyas.

Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangan.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 136 :

“ Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”




Dan dalam salah satu pesan Nabi SAW yang berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping al-Qur’an sebagai pedoman utamanya. Berikut adalah sabda Nabi SAW :

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رنبيه (رواه مالك)

“telah aku tinggalkan dua pusaka bagimu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)




Dan selain berijtihad menggunakan keduanya, para mujtahid pun dianjurkan juga untuk berijtihad menggunakan metode-metode pengambilan hukum Islam lainnya seperti Ijma’, Qiyas, dan lain sebagainya. Berkenaan dengan hal itu, terdapat sabda nabi yang mengungkapkan tentang diperbolehkannya berijtihad dengan menggunakan selain al-Qur’an dan hadits, yakni ketika Nabi SAW mengutus sahabat Mu’adz Ibn Jabal untuk menjadi gubernur di Yaman. Berikut sabdanya :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كيف تقضي إذا عرض لك فضاء ؟ قال أقضي بكتاب الله. قال فإن لم تجد في كتاب الله ؟ قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله ؟ قال أجتهد رأيي ولا ألو فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره وقال الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله (رواه أبو داود والترميذي)

“Rasul (bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum ? Mu’adz menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya: seandainya kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah ?, Mu’adz menjawab: mmaka denan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya: seandainya kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah dan juga tidak pada Sunnah Rasulullah ? mu’adz menjawab: saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk dadanya seraya berkata: segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang rasul dengan sesuatu yang rasul kehendaki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) (Suparta, 2011:49-55).

B. Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)


Aswaja memiliki ciri yang utama, yaitu tawassuth (moderasi), antara wahyu dan akal, teks dan konteks, vertikal dan horizontal, sakral dan profan. Moderasi membutuhkan keterbukaan, tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), i’tidal (tegak lurus memegang dan memperjuangkan prinsip). Ciri-ciri tersebut seyogyanya melekat dalam pemikiran dan aksi lapangan golongan Aswaja (Al-Syarwi, 2016:xiv).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi kaum Sunniy (sebutan bagi kaum Aswaja). Antara lain sebagi berikut (Al-Madkhali, 2011:11-36):

1. Berpegang-teguh dengan jalan para sahabat serta meneladani mereka;

2. Menjauhi perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan berhati-hati darinya;

3. Memperhatikan kedudukan as-Sunnah dan keterkaitannya dengan al-Qur’an;

4. Beriman pada taqdir, yang baik maupun yang buruk.

Selain itu, kaum sunniy juga harus memperhatikan hal-hal berikut (Al-Syarwi, 2016:xx-xxii) :

1. Teori Kasb harus dikembangkan secara optimal;

2. Meneladani sejarah perjuangan Rasulullah SAW yang sukses di berbagai bidang;

3. Memantapkan karakter teologi yang moderat namun progresif;

4. Melakukan aksi nyata dalam membangun umat;

5. Memanfaatkan media publik untuk bersosialisasi pemikiran dan gerakan.




BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan


Berdasarkan makalah di atas, maka kiranya dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Aswaja adalah Golongan yang konsisten mengikuti tradisi dan metode yang dipraktekkan Nabi dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi al-yauma wa ashabi);

2. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, bahwa umat islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang kesemuanya masuk neraka kecuali satu, yakni Aswaja;

3. Meneladani para sahabat adalah suatu tindakan penyelamatan. Layaknya kapal penyelamat. Hal itu dikarenakan mereka adalah orang-orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, menimba penafsiran secara langsung berupa hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan terhadap suatu ayat beserta penerapannya;

4. Urutan sumber hukum Islam dari yang tertinggi adalah (1) al-Qur’an, kemudian (2) hadits, kamudian (3) Ijma’ para Ulama’, dan (4) Qiyas;

5. Aswaja memiliki ciri yang utama, yaitu tawassuth (moderasi), antara wahyu dan akal, teks dan konteks, vertikal dan horizontal, sakral dan profan. Moderasi membutuhkan keterbukaan, tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), i’tidal (tegak lurus memegang dan memperjuangkan prinsip).

B. Kritik dan Saran


Alhamdulillah, telah selesai pembahasan dari makalah ini. Dalam perkembangannya tentu tidak lepas dari keluputan baik dari segi penulisan, pengambilan referensi, dan penuturan pemakalah tentang tema yang terkai. Untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran anda sebagai pendorong bagi kami agar kami bisa menulis lebih baik lagi di masa yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Madkhali, Rabi’ Ibn Hadi, Muhammad Higa 2011. 29 Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Islam, terjemahan, Yogyakarta:Maktabah Al-Huda.

Al-Syarwi, Lukmanul Hakim, 2016. Ahlussunnah Wal-Jama’ah: Studi Komprehensif Teologi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, Pati:Perpustakaan Mutamakkin Pers.

Suparta, Munzier, 2011. Ilmu Hadits, Jakarta:RajaGrafindo Persada.
Tag : Ke NU an
0 Komentar untuk "Dasar Dasar Hukum Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)"

Back To Top