Pengertian Khitbah Serrta Karakteristik dan Macam Macamnya

Pengertian Khitbah Serrta Karakteristik dan Macam Macamnya dunia ilmu
Pengertian Khitbah Serrta Karakteristik dan Macam Macamnya dunia ilmu

BAB  I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG


Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini sudah membudaya dalam masyarakat dan dilaksanakan sesuai tradisi masyarakat setempat. Pihak laki-laki mengajukan pinangan kepada perempuan dan adakalanya pihak perempuan yang mengajukan kepada pihak laki-laki. Syari’at menetapkan aturan mengajukan pinangan itu adalah dari pihak laki-laki itu sendiri yang datang kepada pihak perempuan untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukanya sedangkan pihak perempuan dalam status orang yang menerima pinangan.

Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah peristiwa dan agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi Sunnah Allah dan Sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Nabi. Di samping itu perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan lihat dari berbagai segi.

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan seorang perempuan memilih seorang laki-laki untuk menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki; karena kekayaannya; karena kebangsawanannya dan kareana keagamaannya.  Diantara sekian banyak alasan yang memotivasi yang paling utama adalah karena keberagamaannya.


B.     RUMUSAN MASALAH


1.      Definisi Khitbah beserta Landasan Hukum Khitbah dalam al-Qur’an dan al-Hadist?

2.      Bagaimana Karakteristik Khitbah?

3.      Macam-macam wanita yang boleh di Khitbah?

4.      Apa saja Syarat Sah Khitbah?

5.      Apa saja Konsekwensi atas Pembatalan Khitbah?

6.    Hikmah di syari’atkan Khitbah

C.    TUJUAN PENULISAN


1.      Untuk mengetahui definisi khithbah berserta landasan hukumnya

2.      Untuk mengetahui karakteristik Khitbah

3.      Dapat menyebutkan macam-macam wanita yang boleh di khithbah.

4.   Mengetahui syarat sah khitbah

5.   Mengetahui Konsekwensi atas Pembatalan Khitbah

6.   Mengetahui Hikmah di Syari’atkanya Khitbah



BAB II
PEMBAHASAN


A.    DIFINISI KHITBAH


Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan.Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan.Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.  Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll.Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru.Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan.Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih.Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan.Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda " Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya " (Muttafaq 'alaih).


Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ


“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.(Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari).

Khitbah adalah permintaan seseorang untuk laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluargannya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup.     ( Azam dkk, 2009:8)

Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’  adapun pelaksanaannya beragam; adakalanya meminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.

landasan Hukum khitbah dalam Al Qur’an dan Al Hadis

            Hukum menurut Al-Qur’an seperti ayat di bawah ini:

”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya.Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).

Sedangkan menurut hadist, hukum tentang khitbah adalah:

Memang terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang peminangan.Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi.Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang mewajibkannya.

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis.Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap. (Iskandar, 2002:45).

B.     KARAKTERISTIK KHITBAH

Diantara hal yang disepakati mayoritas ulama fiqh, syariat, dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.  Khitbah tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti nikah.Dalam akad nikah, memiliki ungkapan khusus (ijab qobul) dan seperangkat persyaratan tertentu.Dengan demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan nikah secara syara’.

Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah.  Masing-masiang calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain.  Bahkan andaikan mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang, atau telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang berharga.  Semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat.  Maslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad menentukan kehidupan mereka.  Diantara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.

Jika seorang peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangannya itu, berarti iya harus melaksanankan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadikan kerelaan.  Demikian yang diterangkan kitab-kitab fiqh secara ijma’ tanpa ada perselisihan.  Kesepakatan tersebut tidak berpengaruh terhadap apa yang diriwayatkan dari Imam Malik as bahwa perjanjian itu harus dipenuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagian pendapat.  Akan tetapi dalam perjanjian akad nikah (khitbah) tidak harus dipenuhi, karena penetapan janji ini menuntut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan.Hakim pun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis ini. (As Subki, 2010:50).

C.    MACAM MACAM PEMINANGAN



1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”

2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”

Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:

1.Tidak dalam pinangan orang lain;

2. Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syarak yang melarang dilangsungkannya pernikahan;

3. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i; dan

4. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi saw. :

المؤمن أخو المؤمن فلا يحل له أن يبتاع على بيع أخيه ولا يخطب على خطبة أخيه حتى يدرى (رواه احمد و مسلم)

“Orang mukmin dengan mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya sehingga ia meninggalkannya”. (H.R. Ahmad dan Muslim).

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena  laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.(Syarifudin,2007: 23)

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa iddah, baik karena kematian suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram. Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i, ia haram dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak meruju’nya kembali sewaktu-waktu ia suka.

Dalam agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi saw.:

عن المغيرة ابن شعبة انه خطب امرأة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: أنظرت اليها؟ قال: لا, قل: انظر اليها فانه ان يؤدم بينكما. (رواه النسائ وابن ماجه والترمذى)

“Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw. Bertanya kepadanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”. (H.R. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud Al-Dzahiri) membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan.

Silang pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:

ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها

Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. (Q.S. An-Nur:31). (Al Hamdani,2002: 54)

D. SYARAT SAH KHITBAH


Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:

1.Tidak dalam pinangan orang lain;

2. Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syarak yang melarang dilangsungkannya pernikahan;

3. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i; dan

4. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi saw. :

المؤمن أخو المؤمن فلا يحل له أن يبتاع على بيع أخيه ولا يخطب على خطبة أخيه حتى يدرى (رواه احمد و مسلم)

“Orang mukmin dengan mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya sehingga ia meninggalkannya”. (H.R. Ahmad dan Muslim)

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena  laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa iddah, baik karena kematian suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram. Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i, ia haram dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak meruju’nya kembali sewaktu-waktu ia suka.

Dalam agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi saw.:

عن المغيرة ابن شعبة انه خطب امرأة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: أنظرت اليها؟ قال: لا, قل: انظر اليها فانه ان يؤدم بينكما. (رواه النسائ وابن ماجه والترمذى)

“Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw. Bertanya kepadanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”. (H.R. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud Al-Dzahiri) membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan.

Silang pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:

ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها

Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. (Q.S. An-Nur:31). (Al Hamdani,2002: 66-67)

E.     KONSEKUWENSI ATAS PEMBATALAN KHITBAH

Jika salah seorang peminang dan yang dipinang membatalkan pinangan setelah pemberitahuannya, dan juga peminang telah memberikan seluruh mahar atau sebagian maka haruslah dikembalikan menurut kesepakatan menurut ulama’ fiqih karena peminangan seperti akad yang belum sempurna. Adapun jika yang diberikan merupakan hadiah maka baginnya berlaku hukum hadiah.Baginya untuk mengembalikan jika tidak ada penghalang yang mencegah pengembalian dalam pemberian itu, seperti kerusakan dan hilangnya barang yang diberikan tersebut.

Jika yang membatalkan pihak peminang, maka tiadalah keharusan baginya untuk mengembalikan sesuatu dari yang diberikannya dan tidak mengembalikan sesuatu yang diinfakkan. Jika dari perempuan yang dipinang maka peminang mengembalikan sesuatu yang telah diinfaq kan, dan mengembalikan hadiah yang diberikan kepadanya jika masih ada, atau sebesar nilai dari barang tersebut jika dirusakkan atau telah rusak, selama tidak adanya syarat atau kebiasaan selainya. Ini merupakan pendapat yang diambil dari madzab maliki.

Terkadang pembatalan pinangan mengakibatkan bahaya pada pihak yang lain dari segi kemuliaan atau harta, apakah pihak yang membatalkan pinangan dituntut ganti yang semisal atas bahaya ini sebagian ulama’ fiqih berpendapat ketidak bolehanya tuntutan ini karena pembatalan merupakan hak bagi setiap peminang dan yang dipinang.Tiada gangguan bagi orang yang menggunakan haknya.

Sebagian ulama’ fiqih melihat ada hukum penggantian jika pihak lain mengalami bahaya dengan sebab pembatalan ini, karena dalam hadist disebutkan:

لا ضرر ولاضرار

“Tiada bahaya dan tiada membuat bahaya.”

Bahaya telah terjadi dan hilang dengan penggantian.

Mengenai  pendapat yang terkuat (rajih), kami mengatakan bahwa sesungguhnya bahaya dibagi dua, yaitu:

1. Bahaya yang muncul, bagi peminang yang termasuk selain pinangan dan keberpalingan darinya, seakan-akan ia meminta jenis yang jelas sebagai persediaan, atau persiapan rumah tangganya kelak atas aturan khusus. Pada keadaan ini ia harud memberikan ganti karena ia yang mengubah pada keadaan yaang lain dan perubah mewajibkan penanggungan.

2 . Bahya yang muncul dari keterbatasan pinangan dan pembatalan darinya bukan tanpa sebab dan ini tidak ada penyesatan didalamnya, maka tidak ada keharusan memberi ganti. ( Abdul Hay, 2011:37).

Sungguh telah ada dalam halaman pikiran keagamaan pada Al-Ahram.

Ditanyakan tentang maksud pinangan dalam agama, apakah jaringan (ikatan) dianggap sebagai bagian dari mahar?Apakah jika pinangan terhapus wajib untuk mengembalikan jaringan kepada peminang?

Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan oleh Prof. Dr. Abdul Majid Mathlub, Ketua jurusan syari’ah fakultas Al-Huquq (hak-hak) universitas ‘ain syam, lalu ia mengatakan bahwa ssesungguhnya meminang dalam syari’at islam merupakan janji untuk penyempurnaan akad pernikahan. Oleh karena itu, khithbah tidak dianggap sebagai akad, meski khithbah bersamaan dengan pembacaan Al-Fatihah, memberikan sebagian hadiah-hadiah, menyerahkan mahar.Meminang terbatas pada pendahuluan yang memberikan hak dari masing-masing dua pihak di dalam pengajaran pemikiran pernikahan dan selama terdapat kebaikan bagi keduanya.

Telah berlaku secara adat peminang memberikan untuk perempuan yang dipinang, dan sebelum pelaksanaan akad pernikahan dinamakan dengan “Jaringan” yakni peminang memberikan kepadanya sejumlah harta untuk membelinya sebagai jaringan yang dipilihnya.Hal ini menjadi bagian dari hal-hal yang disyaratkan untuk kesempurnaan pernikahan seperti mahar, sekiranya tidak sempurna pernikahan ditengah-tengah yang telah saling mengetahui tentang hal demikian kecuali dengan memberikan jaringan sebagai bagian atau pengganti dan memberikan mahar sekaligus.Bahkan mereka saling mengetahui atas kekurangan mahar dengan uluran nilai jaringan ketika membeikannya.Menambahkanya sesuai ukuranya jika tidak diberikan.

Dengan pengukuhan seperti itu jika peminangan batal maka tidaklah sempurna pelaksanaan akad karena suatu sebab, maka bagi oara perempuan yang dipinang mengembalikan jaringan jika masih ada, mengembalikan penggantinya jika telah rusak atau dirusakanya.Hal itu karena yang diketahui dan ketetapan yang terjadi bahwa peminang hanya memberikannya sebagai jalan penggantian dan syarat-syarat kesempurnaan akad.Adat ini termasuk bagian yang dianggap syara’ dan berlaku hukum baginya.Maka wajib berlaku hukumnya seperti hukum mahar.

Menurut pendapat yang kuat, sekarang ini bahwa jaringan dijadikan hukum mahar.Karena kebanyakan orang sepakat atasnya dalam akad.Ini mengeluarkanya dari kawasan hadiah-hadiah dan menemukanya dengan mahar.

Dr. Abdul Majid menambahkan, telah menjadi ketetapan hukum sesuai dengan hukum yang ditetapkan dengan kaidah-kaidah syari’at islam tertulis bahwa pinangan bukanlah akad yang diharuskan. Ketiadaan keberpalingan atas peminangan tidak menjadi sebab yang mengharuskan untuk memberikan ganti.

Seandainya hukum atas keberpalingan dari pinangan dengan memberikan ganti, maka demikian itu menyerupai paksaan dalam pernikahan dan ini tidak disepakati dan wajib bagi masing-masing keduanya adalah penuh dengan kerelaan, sempurna, dan kebebasan yang sempurna dalam pembentukan akad pernikahan.

Jika penyimpangan peminangan berbarengan dengan perbuatan-perbuatan lain yang menimbulkan bahaya bagi salah satu peminang maka hukumnya boleh dengan memberi ganti atas tanggung jawab yang terbatas. ( Rahman,2003: 23).

F. HIKMAH DI SYARI’ATKANYA KHITBAH

Khitbah yang merupakan muqoddimah (permulaan) sebuah pernikahan merupakan sebuah cara pengenalan antara dua orang yang akan melangsungkan pernikahan. Melalui khitbah, calon mempelai dapat saling mengenal karakteristik satu sama lain. Menurut Wahbah az-Zuhaili, hikmah dari adanya khitbah adalah cara pengenalan antara pihak laki-laki yang meminang dan wanita yang dipinang, karena khitbah merupakan sebuah jalan untuk mempelajari budi pekerti, perwatakan dan kecenderungan diantara keduanya. Namun, semua itu masih dalam kadar yang diperbolehkan oleh syara’, dan itu sudah sangat cukup. Ketika antara keduanya sudah saling bertemu dan saling memberikan respon, maka dimungkinkan terbuka lebar jalan menuju ke pelaminan dengan pernikahan yang merupakan tali pengikat dalam kehidupan. Sehingga keduanya bisa merasakan hidup dalam keadaan tenang, tentram, dan sejahtera. Dan itulah yang menjadi tujuan paling penting yang didambakan oleh pemuda dan pemudi, serta keluarga keduanya.(Rifa’I, 2002:48)

BAB III
PUNUTUP


A.    KESIMPULAN

1.Khitbah merupakan pintu gerbang menuju pernikahan.Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan.Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.

2. Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah.  Masing-masiang calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni

3.Khitbah beragam.Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang. danSecara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah.

4.Orang yang akan di khitbah Tidak dalam pinangan orang lain, Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syarak yang melarang dilangsungkannya pernikahan;Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i; dan Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry

5. Jika salah seorang peminang dan yang dipinang membatalkan pinangan setelah pemberitahuannya, dan juga peminang telah memberikan seluruh mahar atau sebagian maka haruslah dikembalikan menurut kesepakatan menurut ulama’ fiqih karena peminangan seperti akad yang belum sempurna

6. Melalui khitbah, calon mempelai dapat saling mengenal karakteristik satu sama lain.


DAFTAR PUSTAKA


Amir Syarifudin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia , Jakarta : kencana prenadamedia grup, 2007

Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,Jakarta: Sinar Grafika Offset,2010

Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Jakarta :Pustaka Amini, 2002

Ghozali, Abdul Rahman,Fiqh Munakahat.Jakarta:Kencana Prenada,2003

Muhammad Azam, Abdul Aziz ,Sayyid Hawwas dan abdul wahab, Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, Jakarta:AMZAH,2009

Muhammad Abdul Hay, Az-Zawaj Ath-Thalaq wa Al-Mirats wa Al-Waasyiyah, 2011

Rifa’i, Moh, Fiqih Wicaksana, Semarang: Tohaputra ,2002



0 Komentar untuk "Pengertian Khitbah Serrta Karakteristik dan Macam Macamnya"

Back To Top