MakalahTa'arud dan Tarjih



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat serta Inayah-Nya, memanjatkan rasa syukur telah memberikan  kami kesehatan jasmani serta rohani selama mengerjakan tugas pembuatan makalah ini. Sehingga makalah ini dapat selesai pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami buat guna untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Ushul Fiqh. Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing kami. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang dapat kami gunakan untuk perbaikan penyempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua. Amin.



Jepara, 22 Mei 2016



penulis


TA’ARUDH DAN TARJIH

A.    Pendahuluan
Ilmu usul fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath  hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarrat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada dalam koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu faktor yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan usul fiqh tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Di samping faktor eksternal usul fiqh itu sendiri seperti penentuan keshahihan  suatu hadis misalnya. Sedangkan internal usul fiqh sendiri pada bagian masalahnya mengalami perdebatan di kalangan para ushuluyyin. Dan kemudian muncullah ilmu-ilmu seperti  tentang ta’arudh dan tarjih yang akan kami paparkan di makalah ini.
Makalah ini akan membahas persoalan-persoalan berupa pengertian ta’arudh dan tarjih, bentuk-bentuk ta’arudh dan tarjih, syarat-syarat tarjih, serta contoh-contoh dan kaidah-kaidahnya.

B.     Pengertian Ta’arudh dan Tarjih
Menurut bahasa Ta’arudh berarti pertentangan satu dengan yang lain, sedangkan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu (Karim, 2006: 244).
Dalam ungkapan lain disebutkan bahwa definisi ta’arudh adalah:

التمانع بين الدليلين مطلقا بحيث يقتضي احدهما غير ما يقتضي الاخر
“saling mencegah di antara dua dalil secara mutlak, yakni salah satunya menunjukkan makna yang berbeda dengan makna yang ditunjukkan dalil lain” (Afandi, 2013: 187).

Tarjih secara etimologi tarjih berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminology ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
a.       Menurut ulama Hanafiah :
“ Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama ( sederajat ), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
b.      Menurut jumhur ulama’
“ Menguatkan salah satu dalil yang dhanni dari yang lainnya untuk diamalkan ( diterapkan ) berdasarkan dalil tersebut.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tarjih adalah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih mana dalil yang kuat di antara dalil-dalil yang berlawanan (Syafi’i, 2007:243).

C.    Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum dari Ta’arudh dan Tarjih
Ta’arudh dalam keterkaitannya dalam dua dalil, terdapat empat keadaan:
1.      Dua dalil nash bermuatan amm
Yang perlu diperhatikan mujtahid dalam permasalahan ini, secara berurutan adalah:
a.       Mengkompromikan dua dalil (al-jam’u), jika memungkinkan, dengan mengarahkan masing-masing dari  kedua dalil pada keadaan yang berbeda.
b.      Jika upaya jam’u tidak mungkin ditempuh, maka dilihatlah kronologi waktu dari maing-masing dalil. Jika salah satunya turun lebih akhir daripada yang lain, maka diterapkanlah nasakh.
c.       Jika kronologi waktu tidak diketahui, sehingga tidak mungkin diterapkan nasakh, maka permasalahan ditngguhkan (tawaquf) hingga tampak murajih (hal-hal yang mengunggulkan) pada salah satu dalil (Afandi, 2013: 188).
2.      Dua dalil nash bermuatan khash
a.       Mengkompromikan dua dalil (al-jam’u), jika memungkinkan, dengan mengarahkan masing-masing dari  kedua dalil pada keadaan yang berbeda.
b.      Jika upaya jam’u tidak mungkin ditempuh, maka dilihatlah kronologi waktu dari maing-masing dalil. Jika salah satunya turun lebih akhir daripada yang lain, maka diterapkanlah nasakh.
c.       Jika kronologi waktu tidak diketahui, sehingga tidak mungkin diterapkan nasakh, maka permasalahan ditangguhkan (tawaquf) hingga tampak murajih (hal-hal yang mengunggulkan) pada salah satu dalil (Afandi, 2013: 191).
3.      Salah satu dalil nash bermuatan amm dan yang lain bermuatan khash
Ketika dua dalil yang saling ta’arudh salah satunya bermuatan amm dan yang lain bermuatan khash, maka langkah yang harus ditempuh adalah takhsish, yakni dalil amm ditakhsish dengan menggunakan dalil khash, sebagaimana ketentuan dalam pembahasan takhsish yang telah lewat (Afandi, 2013: 194).
4.      Masing-masing dalil nash bermuatan amm dari satu sisi, sekaligus khash dari sisi yang lain.
Dalam kondisi ini, masing-masing dalil nash memiliki dua sisi permasalahan.  Dari satu sisi, dalil pertama menunjukkan makna amm, sedangkan dalil kedua menunjukkan makna khash. Dan dari sisi yang lain, dalil yang pertama menunjukkan makna khash, sedangkan dalil yang kedua menunjukkan makna amm. Maka dalam hal ini, kedua dalil saling mentakhshish. Dengan makna khashnya, dalil pertama mentakhshish terhadap keumuman dalil kedua. Begitu pula dengan makna khashnya, dalil kedua mentakhsish terhadap keumuman dalil pertama. Hal ini memungkinkan jika adanya saling takhsish. Jika tidak, maka diberlakukanlah tarjih (Afandi, 2013: 195).

Menurut para ulama’ ushul fiqih, cukup banyak metode yang bisa digunakan untuk mentarjihkan dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara al-jam’u baina at-ataufiq dan nasakh. Namun cara pentarjihan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1.      Tarjih baina an-nushush
Tarjih ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
a.       Tarjih ditinjau dari segi sanad
1)      Hendaklah dipilih sanad yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
2)      Hendaklah dipilih rawi-rawinya yang ahli fiqh dari pada yang bukan.
3)      Hendaklah dipilih rawi-rawi yang banyak  hafalannya.
4)      Hendak dipilih rawi yang ikut serta dalam sesuatu kejadian yang diceritakannya karna ia lebih mengetaui.
5)      Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan.
6)      Hendaknya dipilih rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi saw.
b.      Tarjih ditinjau dari segi matan hadis
Untuk memilih mana matan yang lebih kuat dari pada lainnya, ada beberapa jalan sebagai berikut:
1)      Hendaklah dipilih mana matan yang bermakna hakikat dari pada majaz.
2)      Hendaklah memilih yang isinya khash dari pada yang umum.
3)      Hendaklah dipilih yang menunjukkan pada maksud dua jalan daripada satu jalan.
4)      Hendaklah mendahulukan yang mengandung larangan dari pada suruhan.
5)      Hendaklah mendahulukan yang mengandung perinyah dari pada kebolehan.
6)       Hendaklah mendahulukan yang mengandung isyarat hukum dari pada tidak.
c.       Tarjih ditinjau dari segi isi hadis
1)      Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
2)      Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit ‘alan naïf).
3)      Mendahulukan yang mengandung membatalkan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
4)      Mendahulukan yang hukumnya ringan dari pada yang berat.
5)      Mendahulukan yang menetapkan hukum ashal atau bara’ah ashliyah.
d.      Tarjih ditinjau dari segi hal-hal diluar hadis.
1)      Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil lain.
2)      Didahulukan hadis qauliyah dari pada fi’liyah
3)      Didahulukan hadis riwayat yang lebih menyerupai dhahir Qur’an (Rifa’, 1973: 157).
2.      Tarjih baina al-aqyisah
Dalam tarjih ini juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a.       Dari segi hukum ashl
b.      Dari segi hukum cabang
c.       Dari segi illat
d.      Pentarjihan dari segi cara penetapan illat
e.       Pentarjihan dari sifat illat
f.       Pentarjihan qiyas melalui faktor luar




D.    Syarat-syarat Tarjih
Tarjih dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Adanya dalil-dalil yang berlawanan, sama kekuatannya, seperti al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis mutawatir, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis ahad dengan hadis ahad. Kalau tidak sama-sama kekuatannya, seperti al-Qur’an dengan hadis ahad, tidak perlu ada tarjih lagi, sebab yang lebih kuat yaitu al-Qur’an, dan itulah yang dipakai.
2.      Sama hukumnya, bersatu pula waktu, tempat maudhu’ (pokok, kalimat- subjek), mahmul (predikat) dan keseluruhan atau sebagian. Misalnya: jual beli sesudah ada adzan Jum’at dilarang, sedangkan pada waktu yang lain jual beli diperbolehkan. Di sini, tidak ada perlawanan karena berbeda waktunya.
Perlawanan dalil yang dimaksudkan adalah:
a.       Ta’arudh antara al-Qur’an dengan al-Qur’an
b.      Ta’arudh antara al-Qur’an dengan hadis
c.       Ta’arudh antara al-Qur’an dengan ijma’
d.      Ta’arudh antara al-Qur’an dengan qiyas
e.       Ta’arudh antara hadis dengan hadis
f.       Ta’arudh antara hadis dengan ijma’
g.      Ta’arudh antara hadis dengan qiyas
h.      Ta’arudh antara ijma’ dengan ijma’
i.        Ta’arudh antara ijma’ dengan qiyas
j.        Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas (Saebani, 2008: 297).

E.     Contoh-contoh dan Kaidah-kaidah Ta’arudh dan Tarjih
Apabila kita dapati dua nash yang lahirnya berlawanan, wajiblah kita berusaha mengkompromikan nash–nash itu dari lahirnya, sehingga tidak  terjadi pertentangan satu sama lain di dalam syari’at. Jika mungkin kita menghilangkan pertentangan lahir itu diantara dua nash, dengan jalan jama’ dan taufiq, hendaklah kita jama’kan dan kita amalkan kedua – duanya.
Contoh hadits yang lahirnya bertentangan diantaranya :
Dalam surat al-Baqoroh : 234

 والذين يتوفون منكم ويتذون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر و عشرا  ....                                                                                             
“Dan ( hendaklah istri ) yang ditinggalkan oleh suami yang meninggal dunia, menanti empat bulan sepuluh hari.”


Pada tempatnya yang lain,Allah berfirman dlm surat ( ath-thalq : 4 )

واولت الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن                                          
” Dan segala wanita yang hamil, iddahnya ialah bersalin.”

Kedua ayat ini dapat kita kompromikan dengan menetapkan bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya,beriddah dengan iddah yang terjauh dari dua iddah itu. Jika dia bersalin sebelum empat bulan sepuluh hari dari hari wafat suaminya , hendaklah ia menunggu cukup empat bulan sepuluh hari. Dan jika bersalin empat bulan sepuluh hari itu sebelum dia bersalin, hendaklah dia menunggu sampai bersalin.
Antara jalan – jalan jama’ dan taufiq ialah mentakwilkan salah satu dari pada dua nash itu. Dan memandang salah satunya mentaksis bagi umum yang lain atau mentaqyid bagi kemutlakan yang  lain itu.
Apabila tak mungkin dikumpulkan dan dikompromikan antara dua nash yang berlawanan, hendaklah kita mentarjihkan satunya atas yang lain dengan sesuatu jalan tarjih (http//itantowi.blogspot.co.id/2012/10/arti-taarudh-dan-tarjih.html?m=1, diakses  22 Mei 2016/21:59).



F.     Kesimpulan
1.      Ta’arudh adalah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu.
2.      Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih mana dalil yang kuat diantara dalil-dalil yang berlawanan.
3.      Ta’arudh dalam keterkaitannya dalam dua dalil, terdapat empat keadaan:
a.       Dua dalil nash bermuatan amm
b.      Dua dalil nash bermuatan khash
c.       Salah satu dalil nash bermuatan amm dan yang lain bermuatan khash
d.      Masing-masing dalil nash bermuatan amm dari satu sisi, sekaligus khas dari sisi yang lain.
4.      cara pentarjihan dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
a.        Tarjih baina an-nushush
b.      Tarjih baina al-aqyisah
5.      Syarat-syarat tarjih
a.       Adanya dalil-dalil yang berlawanan, sama kekuatannya
b.      Sama hukumnya, bersatu pula waktu, tempat maudhu’, mahmul dan keseluruhan atau sebagian.
6.      Apabila kita dapati dua nash yang lahirnya berlawanan, wajiblah kita berusaha mengkompromikan nash–nash itu dari lahirnya, sehingga tidak  terjadi pertentangan satu sama lain di dalam syari’at. Jika mungkin kita menghilangkan pertentangan lahir itu diantara dua nash, dengan jalan jama’ dan taufiq, hendaklah kita jama’kan dan kita amalkan kedua – duanya

G.    Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu yang telah memberi tugas membuat makalah ini, karena dengan adanya tugas ini kami bisa belajar lebih banyak tentang ushul fiqh, karena dalam hal ini kami termasuk golongan yang sangat awam yang belum mengerti banyak tentang ilmu usul fiqh. Dan kesalahan dan kekeliruan kiranya masih terjadi dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu, kami mengharapkan banyak bimbingan dan koreksi yang membangun untuk makalah kami ini, agar kedepan bisa menjadi lebih baik lagi.
Saran kami kepada pembaca supaya lebih jeli dalam membaca dan belajar tentang ushul fiqh, lebih pandai memilih-milih bacaan dan sumber informasi yang didapatkan, karena untuk mendapatkan pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu makna perkataan yang diteliti. Terimakasih kami ucapkan sebagai penutup, dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu bagi pembaca, khususnya bagi kami. Amin.

















DAFTAR PUSTAKA
Afandi. Kholid dan Nailul Huda. 2013. Dari Teori Ushul Menuju Fiqh Ala Tashil ath- Thuruqat. t.t.t. Santri Salaf Press.
Karim. Syafi’I. 2006. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Rifa’. Moh. 1973. usul fiqih.  Bandung: PT Alma’arif.
Saebani. Beni Ahmad. 2008. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Syafi’i. Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
http//itantowi.blogspot.co.id/2012/10/arti-taarudh-dan-tarjih.html?m=1













Tag : Ushul Fiqh
0 Komentar untuk "MakalahTa'arud dan Tarjih"

Back To Top