A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Ushul Fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan
yang objaknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan
metode penggaliannya. Dalam kata lain ushul fiqh digunakan untuk menetapkan
hukum dari suatu perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Sebagaimana yang sudah disebutkan bahwa
untuk menetapkan hukum itu perlu adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber
dari Al-Qur’an dan sunnah. Diantara dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan sunnah
itupun ditemukan adanya lafadz yang berbeda-beda. Ada dalil yang sudah langsung
dipahami tanpa butuh penjelasan (Dzahir) dan ada pula yang mesti adanya
penjelasan dalam memahami dalil tersebut.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai
Dzahir dan Mu’awwal agar tidak ada terjadi kesalahan dalam memaknai dalil-dalil
yang shahih.
2.
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Dzahir dan Mu’awwal?
b. Bagaimana bentuk-bentuk pembentukan dan
penerapan hukum tersebut?
c. Contoh serta Kaidah-kaidah Dzahir dan
Mu’awwal?
3.
Tujuan Penulisan
a.
Mahasiswa dapat mengetahui tentang Dzahir dan
Mu’awwal.
b.
Mahasiswa dapat mengetahui bentuk-bentuk pembentukan
dan penerapan hukum Dzahir dan Mu’awwal.
c.
Mahasiswa dapat mengetahui Contoh serta Kaidah-kaidah
Dzahir dan Mu’awwal.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Dzahir dan Mu’awwal
a.
Pengertian Dzhahir
Dzahir menurut
istilah Ushul Fiqih adalah :
المتردد بين أمرين هو فى احد هما
اظهر.
“Kuragu-ragukan
diantara dua perkara atau dua lafaz, sedangkan salah satunya adalah lebih
jelas.”[1]
Maksudnya
adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi tinjauan dari
segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih jelas atau
lebih menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya.[2]
Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut :
إسم
لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته .
Artinya : “Suatu
nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk
lafazh itu sendiri.”[3]
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi :
ما
يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأمّل.
Artinya : “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu
sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”[4]
Dari defenisi
diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan dzahir
itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung
kepada petunjuk lain.
b. Pengertian
Muawwal (Ta’wil)
Mu’awwal menurut istilah ushul fiqih adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir) Al-Qur’an kepada
yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya.
Pengertian mu’awwal dalam penggunaan
istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an
melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
Dengan kata lain, mu’awwal berarti mengartikan lafazh dengan beberapa
alternatif kandungan makna yang bukan makna
lahiriyahya, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikkan
dengan tafsir.[5]
2.
Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum Dzahir dan Muawwal
a.
Hukum Dzahir
Yang dimaksud dengan hukum dzahir
adalah dalam hal bagaimana kita boleh atau harus berpegang pada makna
yang dzahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti
dzahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dzahir
sebagai berikut:
الظا
هردليل شرعي يجب اتباعه الا ايد ان يدل الدليل على خلا فىه.
Artinya : “Dzahir
itu adalah dalil syar’i (yang) wajib
diikuti, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya
adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan
sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah
yang dipakai sebagai dalil dan yang wajib kita ikuti.[6]
b.
Hukum Mu’awwal
3.
Implikasi Penerapan Hukum Dzahir dan Mu’awwal
4.
Contoh dan Kaidah-kaidah Dzahir dan
Mu’awwal
a.
Contoh Lafadz Dzahir
Firman Allah SWT:
Artinya: “orang-orang yang makan (mengaambil) riba tidak dapt berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka (berkata)
berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Ayat ini datang, menurut konteks
kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan untuk menjelaskan perbedaan antara riba
dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli.
b.
Contoh Lafadz Mu’awwal
Seperti
lafaz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi:
والسمأ بنينا ها بأيد.....
“Dan langit itu
kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat: 47).
Lafadz (يد) pada ayat diatas, makna dzahir
–nya adalah “tangan” sebagaimana keterangan diatas. Tetapi oleh para
ulama’, lafadz (يد) atau (ايد) pada ayat diatas diartikan “tangan” berarti mempersembahkan Allah
dengan makhluk, sedang Allah tidak mempunyai sesuatu pun sebagaimana
difirmankan dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
ليس كمثله شئ
“Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”. (QS. A-s-Syura: 11).
Oleh karena itu
maka ditakwil arti “tangan menjadi “kekuasaan”. Perubahan arti yang demikianlah
yang dianamakan takwil.[7]
C. Kesimpulan
Dzahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu
pendengar bisa langsung mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak
bergantung kepada petunjuk lain. Sedangkan mu’awwal berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif
kandungan makna yang bukan makna
lahiriyahya, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikkan
dengan tafsir.
Hukum dzahir adalah dalam hal
bagaimana kita boleh atau harus berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam
keadaan bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti dzahir.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Ulum Al-Qur’an,
Bandung : CV Pustaka Setia, 2007.
Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1
dan 2, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
Jumantoro, Totok, Munir Amin, Samsul, Kamus
Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Amzah, 2009.
Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul
Fiqih, Bandung:
Pustaka Setia, 2007.
Tag :
Ulumul Tafsir
0 Komentar untuk "Perkembangan Ilmu Tafsir"