Sumber Hukum Materiil dan Formil Peradilan Agama dunia ilmu |
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah mengamanatkan bahwa semua lingkungan peradilan harus berada satu atap di bawah mahkamah agung. Peradilan Agama sebagai sallah satu pelaksana kekuasaan kehakiman terikat dengan konstitusi tersebut. Konstitusi tersebut telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari peradilan agama ke mahkamah agung. Sebelumnya peradilan agama dalam pembinaan teknis dilakukan oleh mahkamah agung, sementara dalam pembinaan organisasi dilakukan oleh kementerian agama.
Pengadilan Agama sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman harus menempatkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang sesungguhnya sesuai dengan kedudukanya yang telah diberikan oleh undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan demikian Pengadilan Agama perlu meningkatkan kualitas aparatnya sehingga dapat melaksanakan dengan baik dan benar tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Adapun yang harus dilakukan adalah melaksanakan hukum yang acara dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa saja Sumber Hukum Materiil dan Formil Peradilan Agama ?;
1.2.2 Bagaimana Proses Hukum Acara Pengadilan Agama ?;
1.2.3 Bagaimana Bentuk, Isi dan Kelengkapan Gugatan atau Permohonan ?;
1.2.4 Bagaimana Proses Penerimaan, Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara pada Peradilan Agama ?.
1.3 Tujuan Pembahasan
1.3.1 Mengetahui Sumber Hukum Materiil dan Formil Peraadilan Agama;
1.3.2 Mengetahui Proses Hukum Acara Pengadiilan Agama;
1.3.3 Mengetahui Bentuk, Isi dan Kelengkapan Gugatan atau Permohonan;
1.3.4 Mengetahui Proses Penerimaan, Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara pada Peradilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber Hukum Materiil dan Formil Peradilan Agama
Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, yaitu Hukum Materiil dan Hukum Formil yang sering disebut hukum acara.
2.1.1 Pengertian
Hukum materiil peradilan agama ialah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan yang telah tersampaikan dalam ajaran agama (hukum fiqih). Sedangkan hukum formil peradilan agama ialah hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil peradilan agama, atau hukum yang memuat peraturan yang mengenai cara-cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan agama dan tata cara hakim memberi putusan (Djalil, 2006:147).
2.1.2 Sumber Hukum Materiil
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.
Hukum Materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum positiff dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha’ penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan disisi lain, dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Taahun 1954 yang mengatur hukum tentang perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Dalam surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan kitab-kitab fiqih yakni : Al-Bajuri, Fathul Mu’in, Syarqawi ‘Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah Al-Mahalli, Fathul Wahab, Tuhfah, Targhib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, Syamsuri Li Faraid, Bughyat Al-Musytarsyidin, Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-Muhtaj (Djalil, 2006:147-148).
2.1.3 Sumber Hukum Formil
Hukum Formil atau Hukum Prosedural atau Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (Djalil, 2006:152-153).
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakkukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut (Djalil, 2006:153-157) :
a. Reglement op de Burgerlijk Rechsvordering (B.Rv).
. Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.
b. Inlandsch Reglement (IR).
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.
c. Rechtsregelement Voor De Buitengwesten (R.Bg).
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.
d. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW).
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.
e. Wetboek van Koophandel (WvK).
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.
f. Peraturan Perundang-undangan
1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.
2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.
3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.
4) Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.
5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan tersebut.
6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.
7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.
g. Yurisprudensi.
Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
h. Surat Edaran Mahkamah Agung RI.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim.
i. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan.
Dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum.
2.2 Proses Hukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut Pasal 57 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi, “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.
Yang dimaksud peradilan itu adalah mengenai proses beracaranya, yaitu hukum atau peraturan yang mengatur beracara dibidang peradilan. Sedangkan yang dimaksud Pengadilan itu mengenai instansinya, yaitu suatu badan peradilan yang berada disuatu wilayah tertentu (Wilayah kabupaten atau kota sebagai Pengadilan Tingkat I, wilayah Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding dan berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung untuk upaya hukum Kasasi).
Menurut UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 2 menyatakan: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.
Anak kalimat ”perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini” dapat ditemukan petunjuknya dalam pasal 49 yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (Pasal 49 UUPA).
Tempat kedudukan kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding dan berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung. Pengadilan Agama sebagai peradilan khusus karena Pengadilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Pengadilan Agama pada tingkat pertama meliputi daerah kabupaten atau kota, dan Pengadilan Agama pada tingkat Banding meliputi daerah Provinsi. Mahkamah Agung sebagai puncak badan pengadilan di Indonesia mengadili perkara kasasi di seluruh wilayah Indonesia.
Subjek hukum berlaku bukan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam saja. Karena dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, “Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”. Peradilan Agama sebagai peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan Pasal ini” (Mashudi, 2009:76).
2.3 Bentuk, Isi dan Kelengkapan Gugatan atau Permohonan
Dalam dunia peradilan ada dua perkara yang diperiksa pengadilan dilingkungan pengadilan agama ada dua macam, yaitu gugatan dan Permohonan.
2.3.1 Gugatan
Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak.
2.3.2 Permohonan
Permohonan adalah mengenai suatau perkara yang tidak ada pihak pihak lain yang bersengketa (Wahyudi, 2004:126).
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan gugatan kemudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR. Membuat gugatan atau permohonan pada dasarnya berisi :
1. Identitas penggugat atau pemohon
2. Urain kejadian
3. Gugatan atau permohonan
Mengenai isi gugatan atau permohonan UU. NO 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau Rbg tidak mengatur, oleh karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 NO. 3 RV yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat tiga hal yaitu:
a. Identitas para pihak : Identitas para pihak meliputi nama, umur, pekerjaan, agama, kewarganegaraan.
b. Posita : Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan.
c. Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan atau penetapan para kepada para pih.ak terutama pihak tergughat dalam putusan perkara (Wahyudi, 2004:131).
Sedangkan kelengkapan dalam mengajukan gugatan atau permohonan meliputi :
a. Syarat kelengkapan umum
1) Surat gugatan atau surat permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau catatan permohonan;
2) Surat keterangan kependudukan atau tempat tinggal atau domisili bagi penggugat atau pemohon;
3) Vorskot biaya perkara, kecualiu bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah atau kepala desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.
b. Syarat kelengkapan khusus
1) Perkara perkawinan harus melampirkankutipan akta Nikah, seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak dan sebagainya;
2) Gugatan pewaris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris.
2.4 Proses Penerimaan, Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara Pada Peradilan Agama
2.4.1 Penerimaan Perkara
Proses penerimaan perkara dilakukan dengan cara mendaftakran perkara, dengn cara mengajukan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di meja I. Aktivitas yang dilakukan meja I dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan adalah sebagai berikut :
a. Menerima gugatan permohonan, perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali (PK), eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi;
b. Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM tesebut kepada calon penggugat atau pemohon;
c. Menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon;
d. Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG yang kemudian dinyatakan dalam SKUM;
e. Memberikan penjelasan-penjelasan yang diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan sesuai dengan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama tanggal 11 Januari 1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994.
c. Pemeriksaan, dan Penyelesaian Perkara
Setelah melalui proses penerimaan perkara melalui petugas kepaniteraan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilakukan di depan sidang Pengadilan melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a. Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim menanyakan identitas para pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat, dan (4) anjuran untuk berdamai;
b. Tahap jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan/permohonan, kemudian upaya damai tidak berhasil, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanyakan kembali, apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan tergugat / termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu, masuklah pada proses jawab-menjawab, baik antara pihak, maupun antara hakim dengan para pihak;
c. Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara;
d. Tahap penyusunan konklusi, setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis bermusyawarah, pihak-pihak diperbolehkan mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya hal ini tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang ringan, sehingga hakim boleh meniadakannya;
e. Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis. keputusan sidang musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera. Ini merupakan lampiran Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan kedalam dictum keputusan;
f. Pengucapan Keputusan, pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak penggugat atau tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi pihak yang menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, melakukan upaya untuk banding.
(https://vinizikra.wordpress.com/2014/12/02/tata-cara-berperkara-pada-peradilan-agama/)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah di atas, dapat kita temukan beberapa kesimpulan yang mungkin bisa dipahami. Hukum materiil peradilan agama ialah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan yang telah tersampaikan dalam ajaran agama (hukum fiqih). Sedangkan hukum formil peradilan agama ialah hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil peradilan agama, atau hukum yang memuat peraturan yang mengenai cara-cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan agama dan tata cara hakim memberi putusan.
Hukum Acara Pengadilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya yang telah tercantumkan dalam Pasal 57 UU No. 7 Tahun 1989.
Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak. Sedangkan permohonan adalah mengenai suatau perkara yang tidak ada pihak pihak lain yang bersengketa.
Proses penerimaan perkara dilakukan dengan cara mendaftakran perkara, dengn cara mengajukan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di meja I. Selanjutnya, setelah melalui proses penerimaan perkara melalui petugas kepaniteraan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilakukan di depan sidang Pengadilan.
3.2 Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu yang telah memberi tugas membuat makalah ini, karena dengan adanya tugas ini kami bisa belajar lebih banyak tentang Logika, karena dalam hal ini kami termasuk golongan yang sangat awam yang belum mengerti banyak tentang ilmu Logika. Dan kesalahan dan kekeliruan kiranya masih terjadi dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu, kami mengharapkan banyak bimbingan dan koreksi yang membangun untuk makalah kami ini, agar kedepan bisa menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, A. Basiq, 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mashudi, 2009. Wajah Baru Peradilan Agama: Relasi Cita daan Fakta Hukum. Semarang:Badan Penerbit Univesitas Diponegoro dan PP. Ummul Quro.
Wahyudi, Abdullah Tri, 2004. Pengadilan Agama di Indonesia. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
https://vinizikra.wordpress.com/2014/12/02/tata-cara-berperkara-pada-peradilan-agama.html
Tag :
Ilmu Hukum
1 Komentar untuk "Sumber Hukum Materiil dan Formil Peradilan Agama"
Pembahasan nya bagus dan mudah di mengerti
terima kasih penulis atas informasi penting ini :)