Makalah Khittoh NU dunia ilmu |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi
Keagamaan) wadah bagi para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab
1344 H / 31 Januari 1926 M di Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa
setiap manusia hanya dapat memenuhi kebutuhannya, bila hidup bermasyarakat.
NU didirikan dengan tujuan memelihara,
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islamyang berhaluan
Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab: Maliki,
Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah Ulama dan pengikutnya dan
melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat, kemajuan
bangsa, dan ketinggian harkatdan martabat manusia.
Dengan demikian maka NU menjadi gerakan
keagamaan yang bertujuan ikut membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa
kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tenteram, adil dan
sejahtera. NU mewujudkan cita cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar
yang di dasari oleh dasar dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas
NU. Inilah yang kemudian disebut sebagai khittah Nahdlatul Ulama.
Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926
merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham
kenegaraannya, dan lain-lain.Dalam hal ini penulis akan membahas tentang
khittah NU dan gerakan-gerakan NU.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Khittah
NU?
2. Bagaimana Latar Belakang
Kembali ke Khittah NU 1926?
3.
Kapan dicetuskan kembalinya NU ke Khittah 1926 dan bagaimana bentuknya?
4. Bagaimana Gerakan
Politik NU Setelah Khittah?
5. Bagaimana Gerakan Kultur NU?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk memenuhi
tugas mata kuliah ke-NU-an
2.
Untuk
mengetahui pengertian tentang Khittah NU
3.
Untuk
mengetahui latar belakang kembalinya NU kepada Khittah 1926
4.
Untuk
mengetahui kapan NU kembali kepada Khittah 1926 dan bentuk-bentuk rumusannya
5.
Untuk
mengetahui gerakan politik NU setelah Khittah
6.
Untuk
mengetahui gerakan kultur NU setelah NU kembali kke Khittah
BAB II
PEMBAHASAN
Kata khittah berasal dari akar
kata khaththa, yang bermakna menulis dan merencanakan. Kata khiththah
kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”.
Khittah NU adalah landasan berfikir,
bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku
perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan
keputusan.Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang
diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia,meliputi dasar dasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan.Khittah NU juga digalidari intisari perjalanan
sejahtera khidmahnya dari masa ke masa.Kata khiththah ini sangat dikenal
kalangan masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984.
NU mencakup tujuan pendirian NU,
gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan
dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak
hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga
hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan.
Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya,
syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.
Pada tahun 1984 itu, NU
menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo. Muktamarin berhasil
memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke dalam
formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”.
Sebagai formulasi yang kemudian menjadi
rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran
khittah NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan perjuangan, ada bersamaan
dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan masyarakat NU. Keberadaannya
jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum NU berdiri sekalipun dalam bentuk
tradisi turun temurun dan melekat secara oral dan akhlak.
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara
resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan
kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31
Januari 1926.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”,
kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”. Kata “khittah 26” ini merujuk
pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun
1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai
gerakan sosial-keagamaan. Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini,
mengalami perubahan ketika NU bergerak di bidang politik praktis.
Pengalaman NU ke dalam politik praktis,
terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU
melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973.
Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU
sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap
tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan
perlunya kembali kepada khittah.
Perjuangan kembali pada khittah sudah
diusahakan sejak akhir tahun 1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di
Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959, seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama
KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan peranan partai
politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai sebagi alat sudah
kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah pada
tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan muktamar.
Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960
menggunakan warta berkala Syuriyah untuk menyuarakan perlunya NU kembali ke
khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga disuarakan kembali pada
Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan tersebut banyak
ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai politik.
Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya
tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah
iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak
muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan.
Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap mempertahankan NU sebagai
partai politik.
Gagasan kembali ke khittah semakin
mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979). Meski
Muktamirin masih mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik
(di dalam PPP), tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati
makna dan seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad
Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut
mempopulerkan kata khittah.
Gagasan kembali ke Khittah NU semakin
nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun
1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan
Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris HM Said Budairi,
dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini berhasil menyepakati
“Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalamnya, hubungan
NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama
ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984
setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo
inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.
Formulasi rumusan Khittah NU di
Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai
jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah NU,
dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk
oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar yang
dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa.
Dalam formulasi itu, ditegaskan pula
bahwa jam`iyah secara organistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan
organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU
menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan pahamnya
pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber
itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah
Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.
1.
Di bidang
akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori Imam Abu Hasan
al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
2.
Di bidang fiqih
NU mengakui madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan sampai saat
ini.
3.
Di bidang
tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam lain.
Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham
keagamana NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU
dengan tegas menyebutkan tidak bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU sangat
jelas dan ditekankan.
1.
Dasar-dasar Pemikiran NU
Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber
Islam Al Qur’an, Assunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dalam memahami,
menafsirkan Islam, mengikuti Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan pendekatan
madzhab
NU mengikuti pendirian, bahwa Islam
adalah agama yang fitri yang bersifat menyempurnakan kebaikan yang dimiliki
oleh manusia.
2. Sikap Kemasyarakatan NU
Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap
kemasyarakatan sebagai berikut:
a.
Sikap tawasuth
dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan
berlaku adil dan lurus di tengah tengah kehidupan bersama. NU dengan sikap
dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak
lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan
yang bersifat tatharruf (ekstrim).
b.
Sikap tasamuh
sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan,
terutama yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah serta dalam
masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
c.
Sikap tawazun
sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan khidmah kepada ALLAH SWT khidmah
kepada sesama manusia serta lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa
lalu dan masa kini serta masa yang akan datang
d.
Sikap amar
ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang
baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah
semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.
3.
Perilaku yang
dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU
a.
Menjunjung
tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
b.
Mendahulukan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
c.
Menjunjung
tinggi sifat keikhlasan, berkhidmah dan berjuang
d.
Menunjung
tinggi persaudaraan (Al-Ukhuwah, persatuan (Al-Itihad) serta kasih mengasihi
e.
Meluhurkan
kemuliaan moral (Al Akhlakul karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran
(Ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak
f.
Menjunjung
tinggi kesetiaan (loyalotas) kepada agama, bangsa dan negara
g.
Menjunjung
tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah
SWT
h.
Menjunjung
tinggi ilmu-ilu serta ahli-ahlinya
i.
Selalu siap
untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan
manusia
j.
Menjunjung
tinggi kepeloporan dalam usaha, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakat
k.
Menjunjung
tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
3.
Ikhtiar-ikhtiar
yang dilakukan NU :
a.
Peningkatan silaturahmi/komunikasi
antar ulama
b.
Peningkatan
kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan
c.
Peningkatan
kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana dan pelayanan sosial
d.
Peningkatan
taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah
4.
Fungsi
organisasi dan kepemimpinan ulama di NU yaitu sebagai alat untuk melakukan
koordinasi bagi terciptanya tujuan-tujuan yang telah ditentukan baik tujuan
yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.
5. NU dan kehidupan berbangsa
NU secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses
perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, serta mewujudkan
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 yang diridhoi oleh Allah SWT.
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri tahun 1926 adalah sebagai
organisasi kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan partai politik, bukan
institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak
kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik.
Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang
kemudian menjadi Masyumi. Masyumi dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan
kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH
Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi tentara nicca
belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tidak tinggal diam menghadapi
PKI.
Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu
sendiri sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang
menyatakan dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi
historis demikian maka boleh dikatakan semenjak kelahirannya NU telah
berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi
menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi.
Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU
berhasil meraih suara cukup menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena
politik, NU punya banyak wakil di DPR, para ulama sepuh NU juga masih
banyak. Sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai
melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus fusi dalam
satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP). PPP tak ubahnya
seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi
tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di
Masyumi – NU selalu dimarjinalkan.
NU dalam posisi rumit, membuat
partai tidak bisa, memperbaiki PPP juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP
dan PDI saat itu merupakan boneka orde baru. Disinilah titik awal
dimulainya perpecahan warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu faktor utama
dalam penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit
dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di
PPP, sedang NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena.
Pola dukung mendukung oleh NU mulai
dijalankan. NU terkadang bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur
mendekati Mega yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk
menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang NU berubah wujud dari hijau ke kuning
ketika Gus Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-Golkar di
berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi.
Setelah reformasi bergulir, sepertinya
ada harapan besar bagi NU untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Walaupun
demikian masih terlalu berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya
mendirikan PKB dimana PKB diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang
berakses ke PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu
PKB. Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja
karena warga NU benar-benar haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU
dipinggirkan.
Namun tampaknya harapan hanya tinggal
harapan, PKB yang diharapkan menjadi sayap politik NU justru berjalan sendiri
bahkan senantiasa berseberangan dengan NU struktural. Antara PKB dan NU mulai
ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil
yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidakserasian NU-PKB ini diperuncing
lagi ketika NU mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan susah
payah NU menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat
ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi
PKB saat itu justru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada
pilpres putaran kedua PKB mendukung SBY-JK. Cukup sudah PKB menyodok NU saat
itu. Mulai dari itu PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU
karena PKB terlalu jauh meninggalkan NU.
Carut-marut perpolitikan NU saat ini
sudah sangat rumit. Musuh sudah memakai senjata api kita masih berebut senjata
bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab dalam muktamar NU
mendatang.
Meskipun paska khittah 1926 NU
mengkonsentrasikan kembali perjuangannya pada wilayah sosio-kultural, namun
mungkinkah NU benar-benar seratus persen netral dari persoalan politik? Jelas
tidak. Netralitas NU dari politik itu sendiri, menurut KH Abdurrahman Wahid
tidak berarti meninggalkan segala peran politik. Jumlah anggotanya yang besar
merupakan kekuatan dan kapital politik yang sangat potensial, terutama saat
mendekati momen pemilu. Sehingga meski sudah memutuskan khittah dan kembali
pada kerja kultural, NU tak mungkin bisa seratus persen menghindar dari politik.
Namun yang perlu ditegaskan di sini
adalah peran politik yang dimainkan oleh NU bukan lagi politik praktis yang
berorientasi pada kekuasaan. Pola politik semacam ini lebih bersifat
formalistik dan struktural. Sebaliknya dalam dimensi semangat khittah, yang
lebih diprioritaskan oleh NU adalah gerakan politik kultural. Konsep inilah
yang menjadi batu loncatan dan terobosan baru bagi NU untuk memajukan dan
memberdayakan masyarkat. Sebab, orientasi kerjanya bukan lagi memperdebatkan
soal kursi kekuasaan maupun jabatan di berbagai lembaga pemerintahan, melainkan
lebih concern pada perumusan langkah dan strategi pemberdayaan
masyarakat bawah yang sebesar-besarnya. Inilah yang pernah diserukan oleh
mantan Rais Aam PBNU-1984, KH. Achmad Siddiq bahwa orang NU lebih baik bekerja
untuk memajukan masyarakat dan bukannya berusaha mendapatkan kekuasaan.
Secara substansial, gerakan politik
kultural NU ini masih lemah, masih belum mengakar kuat sehingga benar-benar
mampu mengangkat warganya dari segala macam krisis. Pada level
praksis-operasional, komitmen dan spirit politik kultral NU itu belum berhasil
ditransformasikan sebagai sebuah sistem gerakan yang simultan untuk
menyelesaikan problem-problem riel di masyarakat. Sehingga seolah nampak bahwa
orientasi politik NU ini hingga sekarang masih lebih menjadi wacana
sosial-keagamaan, daripada menjadi perangkat kerja konkrit. Terbukti warga NU
masih banyak yang terjerat oleh persoalan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan.
Faktor utama yang menyebabkan politik
kultural NU tersebut mandul dan lemah sebagai media gerakan transformasi sosial
adalah karena rendahnya mentalitas dan moralitas para oknum yang ada di
struktur NU.Oleh para pengurusnya, NU masih sering dimanfaatkan sebagai alat
untuk menjalin akses ekonomi dan politik pribadi. Hal ini terbukti dengan masih
dimanfaatkannya lembaga NU untuk mendukung calon tertentu dalam pemilu maupun
pilkada di berbagai daerah daripada sebagai alat kontrol kekuasaan.Hal ini
menjadikan agenda-agenda sosio-kultural dan keagamaan, yang merupakan bagian
dari gerakan politik kultural NU, tidak berjalan
Sebab, NU hanya menjadi sarang
manusia-manusia oportunistik. Manusia macam ini, hanya memanfaatkan NU untuk
mencari penghidupan pribadi tetapi tidak bersedia berkorban untuk kehidupan NU.
Budaya oportunistik yang sering menghinggapi hati dan pikiran para pengurus NU
tersebut, merupakan batu sandungan utama yang menyebabkan politik kultural NU
belum bisa diimplementasikan secara optimal. Gerakan politik kultural NU
bukannya semakin bangkit, tetapi semakin melemah, karena kekuatan NU digerogoti
oleh budaya oportunistik yang menguasai struktur NU.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Khittah NU
adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam
setiap proses pengambilan keputusan.
2.
Pada Muktamar
Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai
keluarnya NU dari PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan
sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
3.
Setelah Khittah
NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis tetapi lebih kepada
politik taktis.
4.
Gerakan kultur
NU lebih kepada upaya memajukan dan memberdayakan masyarakat.
B. Saran
1. Sebagai Jam’iyah Nahdlatul Ulama
kita harus selalu mempertahankan kemurnian Islam dengan jalan mengikuti faham
Ahlussunnah Wal Jama’ah berdasar Al Qur’an, Assunnah, Ijma’ dan Qiyas serta
dengan pendekatan salah satu dari 4 madzhab.
2. Para pengurus NU yang tergabung
dalam partai politik diharapkan selalu berpegang pada Khittah NU 1926 dengan
kerja kultural yaitu bekerja untuk memajukan masyarakat bukan untuk
memperebutkan kekuasaan, yaitu dengan membantu pengembangan kegiatan di bidang
da’wah, sosial maupun pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
· Pustaka Ma’arif NU. 2007.
Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia. Jakarta.
· Haryono Abu Syam. 1981. Pendidikan
Nahdlatul Ulama. Surabaya. Cahaya Ilmu
· Moxeeb’s.wordpress.com
· emka.web.id/ke-nu-an/2012/apa-itu-khittah-nu
Tag :
Ke NU an
0 Komentar untuk "Makalah Khittoh NU"