Makalah Maslahah Mursalah



BAB I
PENDAHULUAN

       I.            Latar Belakang
Terbentuknya hokum syar’i tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia.
Dalam penetapan hokum islam sumber rujukan utamanya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedang hokum sekundernya adalah ijtihad para ulama’. Setiap istinbath dalam syari’at islam harus berpijak ztzs al-Quran dan as-Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada dua macam, aitu nash dan ghoiru al- nash. Dalam menetapkan suatu hokum, seorang ahli harus mengetahui prosedur cara penggalian hokum dari nash. Cara penggalian hokum dari nash ada dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan lafadz. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hokum bukan kepada nash langsung, seperti menggunakan qiyas, istihsan, istislah (maslahah mursalah) dan lain sebagainya.
Dari latar belakang di atas kami mengambil kesimpulan yang telah kami rumuskan dalam beberapa rumusan masalah, yaitu: pengertian maslahah mursalah, dasar kehujjahan dan syarat berhujjah dengan maslahah mursalah.
    II.            Rumusan Masalah
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
2.      Dasar Kehujjahan Maslahah Mursalah
3.      Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
 III.            Tujuan Makalah
Untuk mengetahui dan memahami isi dari rumusan masalah di atas





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hokum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya. Misalnya mengadakan lembaga pemasyarakatan (penjara), mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi dari suatu Negara dan membiarkan tanah-tanah agrarian yang terdapat di daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum muslimin tetap berada di tangan pemiliknya semula dengan ketentuan mereka dikenakan kewajiban membayar pajak atau kewajiban-kewajiban yang lain. Usaha dan tindakan-tindakan tersebutdilakukan oleh para sahabat adalah karena memperhatikan kemaslahatan yang menghendaki diadakannya usaha-usaha dan tindakan-tindakan itu. Dengan kata lain mendirikan rumah penjara, mencetak mata uang dan menyerahkan pengolahan tanah pertanian di daerah-daerah yang telah dikuasai kaum muslimin kepada pemiliknya yang semula adalah usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang menimbulkan kemaslahatan. Demikian pula memprodusir segala kemaslahatan yang menjadi kebutuhan pokok,penting atau pelengkap, yang di dalam syari’at tidak terdapat suatu nash yang menganjurkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya.
Maksud syari’at itu tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, yakni menarik manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan kesusahan. Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas macamnya dan tidak terhingga jumlahnya.ia selalu bertambah dan berkembang mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Penetapan suatu hokum itu kadang-kadang memberi manfaat kepada masyarakat pada suatu masa dan kadang-kadang membawa kemudharatan kepada mereka pada masa yang lain, dan kadang-kadang memberi manfaat kepadasatu kelompok masyarakat tertentu, tetapi mendatangkan mudharat kepada kelompok masyarakat yang lain.
Kemaslahatan-kemaslahatan yang telah dijelmakan ke dalam hokum-hukum untuk mendukung terealisirnya kemaslahatan itu dan dalam fungsinya sebagai ‘illat hokum, oleh para ahli ushul disebut maslahah Mu’tabaroh( kemaslahatan yang diperhatikan). Misalnya untuk menjamin hak hidup manusia, syari’ mensyari’atkan hokum qishas, bagi orang yang melakukan tindakan pembunuhan dengan sengaja, untuk menjamin hak milik perseorangan, syari’ mentapkan hukuman potong tangan kepada mereka yang mencuri milik orang lain, dan untuk memelihara kehormatan seseorang, syari’ menetapkan hokum had bagi orang orang yang menuduh zina orang lain tanpa bukti atau bagi orang yang berzina
Adapun kemaslahatan-kemaslahatan yang sangat diperlukan oleh masyarakat dan muncul setelah selesainya wakyu diturunkan serta tiak ada dalil yang memerintahkan agar diperhatikan atau tidak, disebut ”Maslahah Mursalah.” Misalnya menghimpun dan menulis al-Qur’an dalam satu mushaf. Baik nash dari al-Qur’an maupun al-hadits tidak memerintahkan ddan pula tidak melarang hal itu. Tetapi karena perbuatan semacam itu sangat bermafaat dan mendatangkan kemaslahatan kepada kaum muslimin, maka apa yang telah dirintis oleh Abu Bakar dan sahabat-sahabat yang lain dalam masalah tersebut merupakan Maslahah Mursalah. Demikian juga surat nikah yang diadakan oleh pemerintah sebagai bukti sahnya perkawinan, yang mempunyai akibat bahwa segala gugatan yang mempunyai hubungan dengan masalah perkawinan tidak akan digubris oleh Negara, bila tanpa bukti itu adalah merupakan maslahah mursalah. Sebab hal itu tidak dituntut oleh syari’at untuk diadakannya,tetapi biarpun demikian mengandung kemaslahatan yang sangat bermanfaat.[1]

B.     Dasar Kehujjahan Maslahah Mursalah
jumhur ulama menetapkan bahwa maslahah mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hokum. Alas an yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
a.       Kemaslahatan manusia itu sering berkembang dan bertambah  mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan-kemaslahatan yang sedang berkenbang itu tidak diperhatikan, sedang yang diperhatikan hanyalah kemaslahatan yang ada nashnya saja, niscaya banyaknya kemaslahatan-kemaslahatan manusia yang terdapat di beberapa daerah dan pada masa yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hokum dan syari’at sendiri tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan syari’at itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di setiap tempat dan masa.
b.      Menurut penyelidikan bahwa hokum-hukum, putusan-putusan dan peraturan-peraturan yang di produsir oleh para sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahidin adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Misalnya;
1)      Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. Dalam mengumpulkan al-Quran dan menuliskan seluruh ayat-ayatnya pada lembaran-lembaran, memerangi orang-orang yang membangkang membayar zakat dan menunjuk umar bin Khattab ra. Untuk menjadi kholifah sesudah beliau.
2)      Putsan Umar bin Khattab ra. Mengenai pengesahan talak tiga yang diucapkan sekaligus, dengan maksud agar orang tidak mudah saja menjatuhkan talak, kepada orang-orang mu’alaf, kebijaksanaan beliau mengadakan peraturan berbagai macam pajak, dan putusan beliau tidak menjalankan hokum potong tangan pencuri yang mencuri dalam keadaan lapar pada masa paceklik.
3)      Usaha Utsman bin Affan ra. Menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain[2]

C.    Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Para ulama yang menjadikan hujjah maslahah mursalaah, mereka berhati-hati dalam hal itu,sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hokum syari’at menurut hawa nafsu dan keinginan perseorangan. Karena itu mereka mensyaratkan dalam maslahah mursalah yang dijadikan dasar pebentukan hokum itu tiga syarat sebagai berikut:
1.      Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir pembentukan hukum suatu kejadian ittu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau menolak madharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hokum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan di antara maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hokum itu,maka ini berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan, contoh maslahah ini ialah maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hokum (qadhi) saja dalam segala keadaan.
2.      Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hokum suatu kejadian ddapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan umat manusia, atau dapat menolak madharat dari mereka, dan bukan dapat mendatangkan keuntungan kepada seseorang atu beberapa orang saja di antara mereka. Kalau begitu, maka tidak dapat disyari’atkan sebuah hokum, karena ia hanya dapat merealisir maslahah secara khusus kepada amir, atau kepada kalangan elit saja, tanpa memperhatikan mayoritas umat dan kemaslahatannya. Jadi maslahah harus menguntungkan (manfaat) bagi mayoritas umat manusia.
3.      Pembentukan hokum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hokum atu prinsip yang telah ditetapkn oleh nash atau ijma’. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menuntut adanya kesamaan hak di antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta pusaka, karena masalah ini adalah masalah yang dibatalkan. Oleh karena itu fatwa Yahya Ibn Yahya al-Laits al-Maliki, ulama fiqh Andalus (Spanyol) murid Imam Malik bin Anas, adalah keliru, yaitu seorang raja Andalus berbuka dengan sengaja pada siang bulan Ramadhan, kemudian Imam Yahya memberi fatwa bahwa tidak ada denda tebusan bagi perbuatan berbuka raja itu, kecuali berpuasa dua bulan berturut-turut. Dia mendasarkan fatwanya, bahwa maslahah menghendaki ini, karena yang dimaksud dengan kafarat ialah melarang orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak kembali kepada perbuatan semisal dosanya, dan tidak bisa menahan kepada raja ini kecuali ini. Adapun keadaan memerdekakan budak, maka hal ini mudah sekali bagi raja, namun tidak bisa menghajar kepadanya. Fatwa ini didasarkan kepada maslahah, namun fatwa itu bertentangan dengan nash, karena dalam nash sudah jelas, bahwa kafarat orang yang berbuka pada siang bulan Ramadhan secara sengaja adalah memerdekakan budak, maka siapa yang tidak mendapat budak harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan yang tidak mampu mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut harus memberi makan kepada 60 orang miskin, dengan tanpa membedakan antara raja yang berbuka atau orang fakir yang berbuka. Jadi maslahah yang diakui oleh mufti karena menetapkan raja dengan kafarat berpuasa dua bulan secara khusus, adalah bukanlah maslahah yang umum, bahkan maslahah yang dibatalkan.
Dari sini jadi jelas bahwa maslahah atau dengan istilah lain, sifat yang sesuai (al-washfu al-munasib) ketika terdapat saksi syara’ yang mengakuinya dengan salah satu macam-macam pengakuan, maka sifat tersebut adalah berate sesuai yang diakui oleh syari’. Sifat yang sesuai tersebut ada kalanya sesuai dengan yang mempengaruhi dan ada kalanya sesuai dengan yang sepadan. Dan ketika terdapat saksi mata yang membatalkan pengakuan itu, maka sifat itu adalah sesuai yang dibatalkan. Tetapi bila tidak terdapat saksi syara yang mengakui atau yang membatalkan, maka sifat tersebut adalah sesuai dengan yang umum (al-munasib ar-mursal) dengan istilah lain Maslahah mursalah.[3]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hokum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya.
dasar kehujjahan maslahah mursalah:
1.     maslahah umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya.
2.      Orang yang meneliti pembentukan hokum para sahabat, tabi’in dan mujtahid, jadi jelas bahwa mereka telah mensyari’atkan beberapa hokum untuk merealisir maslahah secara umum, bukan karena adanya saksi yang mengakuinya.
Syarat berhujjah dengan maslahah mursalah:
1)      Berupa maslahah yang sebenarnya
2)      Berupa maslahah yang umum
3)      Pembentukan hokum dan maslahah ini tidak bertentangan dengan hokum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’.
B.     Saran
Semoga pembaca dapat memahami apa itu maslahah mursalah, dasar-dasar kehujjahan dan syarat berhujjah dengan maslahah mursalah dari makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

Yahya Mukhtar, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh     Islami,Bandung: PT. Al-           Ma’arif,1986.
Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.


[1] Mukhtar Yahya,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Al- Ma’arif, 1986. Hal.105-107
[2]Mukhtar Yahya,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Al- Ma’arif, 1986. Hal.107-108
[3] Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Hal. 130-132
Tag : Ushul Fiqh
0 Komentar untuk "Makalah Maslahah Mursalah"

Back To Top