Hadist Ahkam Wasiat dunia ilmu |
HADITS AHKAM WASIAT
A. Pendahuluan
Ketika sesorang sudah merasa dekat ajalnya, biasanya ia baru menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya dan saat itulah ia baru insaf dan mempunyai keinginan untuk berbuat kebaikan. Oleh karena itulah islam mensyariatkan wasiat sebagai wadah untuk beramal shaleh walaupun ajalnya telah dekat.
Di awal permulaan islam, islam belum mengatur masalah syariat kemudian secara bertahap melakukan perubahan, yang awalnya perempuan tidak mempunyai hak waris bahkan bisa diwarisi kemudian menggantinya dengan syariat wasiatuntuk orang tua, kerabat dekat, istri (untuk nafkah masa iddahnya selama satu tahun). Kemudian menggantinya yang lebih baik lagi dengan adanya ayat mawaris dimana Allah teah menentukan secara terperinci jatah warisan untuk setiap orang. Di makalah kami ini kami akan membahas tentang hadits-hadits tentang wasiat dan kontekstuAlisasinya dalam hukum di indonesia.
B. Pengertian Wasiat
Wasiat secara bahasa berasal وَصَيْتُ الشَّيْءَ, وَصَلْتُهُ وَأَوْصَيْتُ إِلَيْهِ بِمَالٍ جَعَلْتُهُ لَهُ. (saya mewasiatkan sesuatu, saya menyampaikan kepadanya dan saya berwasiat untuknya dengan harta yang saya jadikan untuknya). Kata wasiat juga lumrah digunakan untuk menyebut sesuatu yang diwasiatkan.
Adapun wasiat dengan harta secara istilah adalah
تَمْلِيكٌ مُضَافٌ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ بِطَرِيقِ التَّبَرُّعِ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الأَْعْيَانِ أَوْ فِي الْمَنَافِع
Kepemilikan sesuatu dengan cara tabarru’ yang disandarkan atas kematian, baik berupa benda atau manfaat.[1]
Menurut Syaikh Muhammad Amin Alkurdi wasiat adalah
تبرع بحق مضاف لما بعد الموت ليس بتدبير ولا تعليق عتق بصفة
Tabarru’ dengan suatu hak yang disandarkan pada kematian yang bukan mudabbar budak (memerdekakan budak dengan menyandarkannya atas kematian tuannya) dan bukan pula menggantungkan kemerdekaan budak atas suatu sifat.[2]
Fuqaha sepakat bahwa mewasiatkan barang pokok itu boleh. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang pewasiatan manfaat. Jumhur fuqaha amshar membolehkan. Tetapi Ibnu Abi Laila, Ibnu Syabramah, dan fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa pewasiatan manfaat itu batal. Jumhur fuqaha beralasan bahwa manfaat itu semakna dengan harta. Sementara golongan yang lain beralasan bahwa manfaat itu akan berpindah kepada hak milik ahli waris itu lantaran orang mati itu tidak mempunyai hak milik. Oleh karena itu, ia tidak sah memberikan wasiat dengan sesuatu yang terdapat pada milik orang lain.[3]
Asy-Syarbini berkata “الإْيصَاء” mencakup wasiat dan wishayah secara bahasa. Dan perbedaan antar keduanya dalam istilah fuqaha adalah pengkhususan wasiat pada tabarru’ yang digantungkan pada kematian, dan janji kepada orang yang akan menggantikannya setelah kematiannya. Dalam kata lain wushayah adalah menjadikan seseorang sebagai orang yang diwasiati untuk menjalankan urusannya urusannya, hartanya, keluarganya setelah kematian dirinya.[4]
C. Rukun-Rukun Wasiat
1. al-washi (الواصي) atau al-mushi (الموصي) = pemberi wasiat/pewasiat
2. al-musho bihi (الموصى به) = perkara/benda yang dijadikan wasiat.
3. al-musho lahu (الموصى له) = penerima wasiat (orang atau sesuatu)
4. al-mushu ilaih (الموصى إليه) = orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
5. wasiat (الوصية) = perilaku/transaksi wasiat.[5]
D. Jenis Hukum Wasiat secara Syar’i
Hukumnya wasiat adalah disunnahkan. Wasiat disunnahkan mesti dilakukan oleh orang yang sehat tidak dalam keadaan sakit, karena datang tiba-tiba, maka mewasiatkan bagian tertentu harta milik tidaklah wajib melainkan bagi orang yang memiliki tanggungan utang, titipan, memiliki kewajiban atau tanggungan lainnya yang wajib diwasiatkan.[6]
Dalil tidak diwajibkanya wasiat, mengenai wasiat tidak dinukilkan mayoritas sahabat dan karena wasiat adalah tabarru’ atau pemberian yang tidak wajib dilaksanakan semasa hidup maka setelah matipun tidak diwajibkan, seperti pemberian kepada fakir miskin yang tidak ada hubungan apapun.
Terkadang hukum wasiat bisa berubah menjadi makruh dan haram. Maka, jelas bahwa wasiat ada empat macam bila dilihat dari sifat hukum syar’inya, sebagai berikut:
1. Wajib, Contohnya seperti wasiat untuk mengembalikan barang titipan dan utang yang tidak di ketahui tanpa surat atau akan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan seperti zakat, kafarat, fidyah puasa, fidyah sholat dan sejenisnya.Golongan Syafi’iyah mengatakan disunnahkan membuat wasiat untuk membayar hak-hak yang berupa utang, mengembalikan barang titipan, pinjaman dan sejenisnya.
2. Mustahabah, Contohnya seperti wasiat kepada para kerabat yang bukan ahli waris, dan wasiat yang ditunjukan untuk pihak atau kepentingan kebajikan dan untuk orang-orang yang membutuhkan.
3. Mubah, Contohnya seperti wasiat yang ditunjukkan untuk orang-orang kaya, baik itu orang lain atau para kerabat sendiri.
4. Makruh tahrim menurut hanafiah, Contohnya seperti wasiat yang di tunjukan untuk ahli fasik dan maksiat. Wasiat secara mufakat di makruhkan bagi oarng fakir yang memiliki ahli waris kecuali bila ahli waris dalam keadaan kaya, maka wasiat berhukum di mubahkan.[7]
Wasiat juga haram apabila diberikan kepada orang asing (yang bukan keluarga atau kerabat) dan melebihi sepertiga harta. Pendapat shahih golongan Hanafiyyah menyatakan bahwa wasiat lebih dari sepertiga dari harta adalah makruh sedangkan wasiat untuk ahli waris adalah haram. Yang lebih utama adalah menyegerakan wasiat yang di tujukan untuk pihak atau kepentingan kebajikan semasa hidup dan tidak memperlambatkanya hingga wafat.[8]
E. Syarat-Syarat Wasiat
1. Syarat benda yang diwasiatkan
a. wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
b. wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
c. boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
d. boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.
e. harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
2. Syarat pewasiat / pemberi wasiat (al-washi)
(a) akil baligh,
(b) berakal sehat
(c) atas kemauan sendiri.
(d) boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.[9]
Disyaratkan dalam wasiat tidak boleh ditujukan kepada maksiat, seperti membangun gereja, maka hal tersebut diharamkan. Alasan pengharaman ini adalah bahwa wasiat itu disyariatkan untuk menarik kebaikan, mengganti kebaikan yang tertinggal, dan wasiat pada maksiat meniadakan tujuan ini.[10]
F. Dalil-Dalil Disyariatkannya Wasiat
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah:180)
Dalam sejarah wasiat ini diwajibkan di masa permulaan islam dengan seluruh harta kepada para kerabat dekat (aqrabin). Ayat al-baqarah 180 kemudian dihapus dengan ayat-ayat mawaris.[11]
Kata خَيْرًا bermakna harta, maka para ulama berbeda pendapat tentang berapa kadarnya. Diriwayatkan dari Abi Malikah dari Aisyah, Abi Malikah berkata pada Aisyah “saya ingin berwasiat”, Aisyah menjawab “berapa hartamu?” Abi Malikah menjawab “tiga ribu dirham” Aisyah: “berapa keluargamu?” jawabnya “empat” Aisyah berkata “Allah berfirman إِنْ تَرَكَ خَيْرًا dan hartamu ini sedikit, tinggalkanlah untuk keluargamu ini lebih utama bagimu.”
Aban bin Ibrahim An-Nakha’i pernah berkata tentang إِنْ تَرَكَ خَيْرًا bahwa khair adalah 500 sampai 1000 dirham.Sesungguhnya ada seorang lelaki ingin berwasiat tetapi dia mempunyai banyak anak dan dia meninggalkan 400 dinar, Aisyah berkata “saya tak melihatnya sebagai sebuah kelebihan (fadhl)”[12]
Para ulama berbeda pendapat tentang ketentuan untuk membedakan harta yang banyak dan sedikit Ibnu Abbas berkata “jika meninggalkan 700 dirham maka jangan berwasiat, jika meninggalkan 800 dirham berwasiatlah”. Qatadah berkata “1000 dirham”. [13]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berwasiat dengan harta, jumhur ulama yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa wasiat tidaklah wajib. Pendapat inilah yang juga dipakai oleh Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Ats-Tsauri. Mereka beristidlal bahwa kebanyakan shahabat Rasulullah saw. Tidak diriwayatkan dari mereka pernah berwasiat, dan tidak pula ada riwayat yang menentang mereka. Andaikan wajib tentu tentu ada riwayat yang jelas. Wasiat adalah suatu pemberian sebagaimana pemberian yang lain yang pemberian itu tidak wajib disaat masih hidup, maka tidak wajib seetelah mati.
Kemudian mereka berkata bahwa wasiat itu disunnahkan dengan sebagian harta bagi orang yang meninggalkan harta yang banyak, karena Allah berfirman (QS. Al-Baqarah:180)
Maka dinasakhlah kewajibannya dan yang masih tetap adalah kesunnahan wasiat untuk diberikan kepada orang yang tidak mendapat warisan.[14]
G. Hadits Dianjurkannya Berwasiat
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ibn umar (r.a), bahwa Rasulullah (s.a.w) bersabda: “hak seorang muslim yang memiliki sesuatu lalu ingin berwasiat dan sudah berlalu dua malam, maka wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.”(Muttafaq ‘Alaihi).
Allah telah bersedekah kepada orang-orang muslim di mana mereka diberikan hak untuk membelanjakan dan mewasiatkan 1/3 hartanya walaupun setelah mereka meninggal dunia, bahkan mereka diberi ganjaran pahala di atas kesediaannya berbuat demikian. [15]
Apakah wasiat mesti mempunyai saksi? Menurut sebahagian ulama mazhab Syafi’i, saksi dikhususkan kepada wasiat, tetapi boleh berpegang dengan apa yang tertulis walaupun tanpa saksi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “maka wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.”
Menurut jumhur ulama, maksud “ditulis” dalam hadits ini adalah saksi. Dalilnya adalah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ...(١٠٦)
“wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang di antara kamu hampir mati, ketika (ia mahu) berwasiat, hendaklah wasiatnya itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang lain (yang bukan seagama) dengan kamu, jika kamu dalam pelayaran di muka bumi lalu kamu ditimpa bencana sakit yang membawa maut…” (Surah Al-Ma’idah: 106)
Ulama berbeda pendapat apakah Rasulullah (s.a.w) pernah berwasiat? Pendapat yang benar menegaskan Rasulullah (s.a.w) pernah berwasiat dan ulama yang mengatakan bahwa Rasulullah (s.a.w) tidak pernah berwasiat, maka orang itu memiliki pengetahuan yang sedikit tentang Rasulullah (s.a.w).
Dalam satu hadits sahih riwayat Muslim dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah (s.a.w) berwasiat dengan tiga perkara… dalam riwayat Imam Ahmad, Al-Nasa’i dan Ibn Sa’id dari hadits anas bahwa wasiat Rasulullah (s.a.w) ketika menjelang wafatnya adalah jagalah solat dan hamba kamu.[16]
H. Hadits Tentang Bagian Dari Harta Yang Di Wasiatkan
َوَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ : قُلْتُ : ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ , أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ? قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ اَلنَّاسَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari sa’ad bin abu waqqash (r.a), beliau berkata: “saya bertanya: “wahai Rasulullah, saya seorang hartawan dan pewarisnya hanyalah seorang anak perempuan saya. Bolehkah saya menyedekahkan 2/3 harta saya?” Rasulullah saw. Menjawab: “tidak boleh.” Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/2 harta milik saya?” Rasulullah saw. Menjawab: “tidak boleh.” Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/3?” Rasulullah saw. Menjawab: “1/3, dan itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu kaya raya lebih baik dari kamu tinggalkan mereka fakir miskin meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaq Alaihi:).
Ketika seseorang dibolehkan berwasiat, maka harus ditetapkan batas jumlah wasiat yang dibolehkan supaya hartanya tidak habis untuk orang lain. Selain itu, ia bertujuan agar tidak menjadikan ahli warisa terhalang dari menerima haknya, karena setiap orang memiliki hak yang sama termasuk ahli waris.
Itulah sebabnya dalam hadits ini wasiat dibatasi hanya 1/3 dari jumlah keseluruhan harta, bahkan hadits ini menganjurkan bahwa apa yang terbaik adalah tidak sampai mengeluarkan wasiat 1/3 dari jumlah harta.[17]
Diriwayatkan dari Abu Bakar As-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib sesungguhnya beliau berkata “saya lebih menyukai berwasiat adengan seperlima harta saya sebagaimana Allah meridhai bagian tersebut untuk ghanimah”. Ibnu Qudamah berkata bahwa riwayat inilah yang merupakan mayoritas pendapat ulama salaf adan ulama bashrah. Ibnu Abbas dan sebagian orang menyukai berwasiat dengan seperempat. Ishaq berkata “yang sunnah adalah seperempat, kecuali jika seseorang mengetahui hartanya tercampur dengan yang haram dan syubhat maka baginya sepertiga. Qadhi Abu Al-Khattab dari Hanabilah berkata “jika pewasiat kaya maka dianjurkan baginya sepertiga” [18]
Sunnahnya berwasiat -menurut kesepakatan ulama- adalah jika para ahli waris adalah orang orang kaya dan harta peninggalan banyak. Adapun jika harta peninggalan sedikit sedangkan ahli waris membutuhkan, ulama hanafi dan hanabilah menjelaskan bahwa orang fakir yang mempunyai ahli waris yang membutuhkan tidak disunnahkan baginya berwasiat.
Ali bin abi Thalib berkata pada seseorang yang hendak berwasiat “kamu tak meninggalkan harta banyak, kamu hanya meninggalkan harta yang sedikit maka tinggalkanlah untuk ahli warismu. Asy-Sya’bi berkata ” tidak ada harta yang lebih besar pahalanya selain harta yang ditinggalkan seseorang untuk anaknya sehingga tidak membebani orang lain”. Wasiat dalam keadaan ini akan menyambung kerabat jauh tetapi meninggalkannya akan menyambung kerabat dekat, maka hal ini lebih utama. Jika harta seseorang banyak sedangkan para ahli warisnya miskin, maka yang lebih utama adalah berwasiat lebih sedikit dari sepertiga dan meninggalkan hartanya untuk ahli warisnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat itu hukumnya wajib. Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa beliau berkata “Allah menjadikan wasiat sebagian suatu hak baik dari harta yang sedikit maupun banyak. Dikatakan kepada Abi Mijlaz “apakah setiap orang wajib berwasiat ?” Jawabnya “jika meninggalkan harta yang banyak (khair)”. Ibnu abu bakar berkata “wasiat itu wajib bagi kerabat yang tidak mendapat warisan”. Pendapat tentang wajibnya wasiat juga diriwayatkan dari Masruq, Thowus, Iyas, Qatadah, Dan Ibnu Jarir. Dan mereka berhujjah dengan firman Allah surat Al Baqarah ayat 180.[19]
I. Wasiat kepada ahli waris
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Dari Abu Umamah Al-Bahili (r.a), beliau berkata: “saya pernah mendengar Rasulullah (s.a.w) bersabda: “sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap orang yang berhak ke atasnya. Oleh itu, tidak sah wasiat kepada ahli waris.” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al- Arba’ah selain Al-Nasa’i, dinilai hasan oleh Imam Ahmad dan Al-Tirmidhi, dinilai kuat oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Al-Jarud).
َوَرَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- , وَزَادَ فِي آخِرِهِ : ( إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اَلْوَرَثَةُ ) وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
Hadits ini turut diriwayatkan oleh al-daruquthni dari hadits Ibn Abbas (r.a) dan pada bahagian akhir ditambahkan: “… kecuali ahli waris bersetuju dengannya (wasiat itu).” (sanadnya hasan).
Ketika Allah menetapkan setiap bahagian ahli waris, maka orang yang hendak meninggal dunia dilarang berwasiat dengan memberikan harta warisan kepada ahli warisnya. Di sini islam datang untuk menjelaskan permasalahan ini, di mana dilarang memberikan wasiat kepada ahli waris. Dilarang berwasiat kepada ahli waris menurut jumhur ulama, meskipun ada sebahagian kecil yang mengingkari pendapat ini.[20]
Adapun tidak diperbolehkannya wasiat untuk ahli waris -kecuali diizinkan ahli waris yang lain- adalah untuk mencegah kebencian, saling iri, dan pemutusan shilaturrahim antar ahli waris.[21]
J. Tujuan Wasiat
َوَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ ; زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari mu’adz bin jabal (r.a), beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) bersabda: “sesungguhnya Allah mengizinkan kepadamu untuk menyedekahkan 1/3 dari hartamu ketika kamu hendak meninggal dunia untuk menambahkan lagi amal kebaikanmu.” (diriwayatkan oleh Al-Daruquthni).
Pada awal bab ini dianjurkan untuk berwasiat, maka di sini disebutkan pula mengenai keutamaannya. Disyariatkan berwasiat 1/3 dari jumlah keseluruhan harta, baik hartanya itu sedikit mahupun banyak.
Pembayaran hutang hendaklah didahulukan, kemudian dikeluarkan 1/3 sisa hartanya sebagai wasiat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “dengan 1/3 harta kamu.” Ini karena hutang tidak termasuk harta yang berwasiat. Ini disokong oleh hadits daif dari Ali di mana Al-Tirmidhi berkata: “inilah pegangan ulama.”[22]
Sebab-sebab dan hikmah wasiat
Sebab wasiat sama dengan sebab semua tabarru’ yaitu menghasilkan faedah kebaikan di dunia dan mendapatkan pahala di akhirat. Karena itu Allah mensyariatkannya sebagai penguat amal shaleh, balasan orang yang telah mempersembahkan kebaikan kepada orang lain, menyambung silaturahmi dan para kerabat selain ahli waris, menutup kekurangan orang-orang yang membutuhkan, meringankan beban orang yang lemah, orang-orang yang dalam keadan sempit dan orang-orang yang miskin. Hal ini terealisasi apabila ada komitmen kebajikan dan keadilan didalamnya, serta menjauhi unsur-unsur merugikan atau membahayakan dalam wasiat.[23]
K. Kontekstualisasi Hukum Wasiat
Wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain.[24]
Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hukum kewarisan telah diatur dalam KHI pasal 209 dengan melalui jalan wasiat wajibah, meskipun pengangkatan anak tidak merubah status anak tersebut. Pemberian wasiat wajibah adalah jalan tengah yang ditempuh oleh para Ulama dalam penyusunan KHI karena tidak sedikit orang yang dalam rumah tangga tidak dikaruniai keturunan dan pada akhirnya mereka mengangkat anak. Wasiat wajibah yang telah ada dalam KHI tidak lepas dari kitab-kitab fikih, al-qur’an, dan hadits, karena dalam Inpres telah disebutkan bahwa KHI merupakan pedoman yang memerlukan pengembangan dan pengkajian lebih lanjut.[25]
L. Kesimpulan
Kepemilikan sesuatu dengan cara tabarru’ yang disandarkan atas kematian, baik berupa benda atau manfaat. Rukun-Rukun Wasiat adalah1. Al-washi (الواصي) atau al-mushi (الموصي) = pemberi wasiat/pewasiat. 2. Al-musho bihi (الموصى به) = perkara/benda yang dijadikan wasiat. 3. Al-musho lahu (الموصى له) = penerima wasiat (orang atau sesuatu) 4. Al-mushu ilaih (الموصى إليه) = orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat. 5. Wasiat (الوصية) = perilaku/transaksi wasiat.
Hukumnya wasiat adalah disunnahkan. Terkadang hukum wasiat bisa berubah menjadi makruh dan haram.
Sebab wasiat sama dengan sebab semua tabarru’ yaitu menghasilkan faedah kebaikan di dunia dan mendapatkan pahala di akhirat. Karena itu Allah mensyariatkannya sebagai penguat amal shaleh.
Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hukum kewarisan telah diatur dalam KHI pasal 209 dengan melalui jalan wasiat wajibah, meskipun pengangkatan anak tidak merubah status anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah
Zuhaily, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani.Jakarta: Gema Insani
Imam Al-Thabari. Tafsir Al-Thabari. Maktabah Syamilah
Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir. Maktabah Syamilah
‘Allusy, Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam. 2010. Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin). Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publication
Al-Kurdi, Muhammad Aminl. 2006. Tanwirul Qulub. Surabaya:Alharamain
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid (Terjemah Oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun).Jakarta:Pustaka Amani
http://www.alkhoirot.net/2012/07/wasiat-dalam-islam.html Akses 10 April 2014
Al- Hashni, Taqiyyudin. 1994. Kifayatul Akhyar. Beirut:Dar Al-Fikr
http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=06210014 Akses 19 Mei 2014
http://pa-barabai.pta-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=29 Akses 19 Mei 2014
[1] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[2] Muhammad Amin Alkurdi, Tanwirul Qulub, (Surabaya:Alharamain, 2006), Hal. 337
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah Oleh Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun), (Jakarta:Pustaka Amani,2007), Jilid 3 Hal. 369
[4] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[5] Http://Www.Alkhoirot.Net/2012/07/Wasiat-Dalam-Islam.Html Akses 10 April 2014
[6] Wahbah Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani,2011), Jilid 10 Hal. 158
[7] Ibid., hal. 158
[8] Ibid., hal. 159
[9] Http://Www.Alkhoirot.Net/2012/07/Wasiat-Dalam-Islam.Html Akses Tanggal 10 April 2014
[10] Taqiyyudin Al Hashni, Kifayatul Akhyar, (Beirut:Dar Al-Fikr, 1994), Juz 2 Hal 26
[11] Ibid., hal. 26
[12] Imam Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, Maktabah Syamilah, Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180
[13] Syaikh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180
[14] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[15] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 316
[16] Ibid., Hal. 318
[17] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 319
[18] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[19] Ibid.
[20] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 321
[21] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[22] Ibid., Jilid 3 Hal. 322
[23] Wahbah Zuhaily, Op. Cit., Hal. 156
[24] http://pa-barabai.pta-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=29 Akses 19 Mei 2014
[25] http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=06210014 Akses 19 Mei 2014
Tag :
Khadis Ahkam
0 Komentar untuk "Hadist Ahkam Wasiat"