Pengertian Pemerintah Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru dunia ilmu |
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun 1965. Orde baru lahir sebagai upayauntuk: mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia,melaksanakan Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Setelah Orde Baru memegang talpuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan status quo. Hal ini menimbulkan ekses-ekses negative, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukannya itu direkayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut selalu dianggap sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
b. Rumusan masalah
1. Pengertian Pemerintah pada masa orde baru
2. Latar belakang lahirny Masa pemerintahan orde baru
3. Peradilan Islam pada masa orde baru
4. Sistem pemerintahan pada masa Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pemerintahan pada masa orde baru
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan
negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru adalah suatu orde
yang mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat
dan nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD
1945. Intervensi kekuasaan eksekutif terhadap pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan terjadi pada era pemerintahan orde baru dibawah presiden Soeharto . Pemerintahan presiden Soeharto menghambat pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independent tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Sejarah mencatat bahwa intervensi kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan telah memunculkan keberanian pada sejumlah hakim untuk menegakkan kekuasaan lembaga peradilan yang independent dalam putusan mereka, terutama dalam kasus-kasua yang menyinggung kepentingan penguasa .
Penanganan perkara-perkara tersebut , para hakim yang jujur, adil, dan tidak memihak sesungguhnya telah mempertaruhakan masa depan karier dan keselamatan diri dan keluarganya, karena mereka berhadapan dengan kekuasaan otoriter yang memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan kekuasaan peradilan . Para hakim tersebut berhadapan dengan potensi mutasi wilayah tugas ke daerah yang tidak menggambarkan promosi jenjang karier.
B. Latar belakang lahirnya masa pemerintahan orde baru
1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan
30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
- Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
- Pembersihan Kabinet Dwikora
- Penurunan Harga-harga barang.
7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
C. Peradilan Islam pada Masa Orde Baru
Peradilan Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada tahun 1967. Ketika itu Soeharto diangkat menjadi Presiden. Dengan demikian, Soeharto memberi nama pemerintahannya dengan Orde Baru, yaitu suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, untuk pemerintahan sebelumnya yaitu masa Pemerintahan Soekarno diberi nama Orde Lama.
Pada mulanya secara kelembagaan Peradilan Agama berada di bawah lingkup Departemen Agama. Setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut.
Namun demikian, kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama ketika itu memang masih sangat terbatas. Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan Agama masih berkisar penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk (NTCR) saja. Oleh karena itu, diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, merupakan kemajuan yang luar biasa.
Sebuah perwujudan cita-cita yang sangat didambakan oleh umat Islam di Indonesia pada umumnya serta Hakim Agama khususnya, setelah melewati perjalanan sejarah yang amat panjang. Sebenarnya, pembaharuan Peradilan Agama sudah dimulai sejak ditetapkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, namun ketika itu masih jauh dari harapan. Hal itu sangat tampak terutama persoalan independensinya, mengingat UU No. 14 Tahun 1970 masih menganut sistem dua atap (double roof system), seperti ditegaskan pada Pasal 11 ayat (1).
Masuknya pihak eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan kehakiman di negeri ini tidak independen. Alasan itulah antara lain yang menyebabkan status dan kedudukan Peradilan Agama belum bisa dikatakan sebagai Peradilan yang independen, mandiri, dan kokoh, selama masa Orde Baru. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU PA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya RUU PA tersebut disahkan menjadi UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.[12] Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perubahan sekaligus perbaikan sistemPerubahan signifikan menyangkut kewenangan Peradilan Agama, secara konstitusional diperoleh melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut bersifat diagnostic atau dalam istilah lain UU organik akibat adanya UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman.
Pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan keHakiman bagi rakyat pencari keadilan yang berAgama Islam mengenai perkara tertentu.” Memperhatikan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa dengan kewenangan tersebut dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara pidana.
Kemudian berdasarkan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, Peradilan Agama memperoleh kewenangan baru dalam bidang ekonomi syariah yakni; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syari’ah. Kemudian materi yang merupakan penambahan kewenangan baru tersebut adalah; zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah.
Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hokum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.” Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).
Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologi hukum, maka tidak mengherankan jika dewasa ini, Peradilan Agama mengalami perluasan kewenangan mengingat “…harus ada kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum, agar tidak ada gap antara persoalan dengan cara dan tempat penyelesaiannya.” Dalam arti, perkembangan masyarakat yang meniscayakan munculnya permasalahan bias diselesaikan melalui jalur hukum, tidak dengan cara main Hakim sendiri. Di samping itu, perluasan kewenangan Peradilan Agama juga sesuai dengan teori three elements law system Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan; legal substance adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.
Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, maka perluasan beberapa kewenangan Peradilan Agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang menjadi wewenang Peradilan Agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim.
Artinya, hukum Islam yang menjadi bagian dari kewenangan Peradilan Agama selama ini telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Bahkan semestinya, kewenangan Peradilan Agama tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan tersebut, tetapi juga menyangkut persoalan hukum Islam lainnya yang selama ini telah dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari .
Sepanjang hukum Islam itu hidup dan dipraktikkan oleh masyarakat, sepanjang itu pula seharusnya kewenangannya dimiliki oleh Peradilan Agama. Mengingat, keberadaan Peradilan Agama sebagai sebuah legal structure, berbanding lurus dengan kewenangannya sebagai legal substance. Oleh sebab itu, apabila legal structure-nya kuat tetapi legal substance-nya lemah, maka keadaan semacam itu ibarat sebuah bangunan hampa yang tidak ada isinya.
Namun demikian, beberapa kewenangan yang selama ini dimiliki oleh Peradilan Agama, ternyata dimiliki bukan hasil dari sebuah perencanaan strategis dari para pengelola atau pihak yang berwenang, akan tetapi lebih karena persoalan tersebut secara sosiologis telah dipraktikkan oleh masyarakat. Hal ini seperti yang dijadikan alasan oleh anggota DPR ketika mengesahkan kewenangan ekonomi syariah dalam UU No. 3 Tahun 2006, dimana pertimbangan utamanya adalah “...bahwa ekonomi syariah adalah bidang perdata yang secara sosiologis merupakan kebutuhan umat Islam” .
Perluasan wewenang Pengadilan Agama setelah diundangkannya Undang-undang No 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain meliputi ekonomi syariah. Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan Pengadilan Agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
Perluasan kewenangan tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi aparatur Peradilan Agama, terutama Hakim. Para Hakim dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit (Hakim dianggap mengetahui hukumnya), sehingga Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak atau kurang jelas. Keniscayaan Hakim untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai sebuah pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar (res judicata pro veriate habetur). Sejalan dengan itu, setiap Hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai masalah-masalah perekonomian syariah.
Memang, para Hakim Pengadilan Agama telah memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam. Namun karena selama ini, Pengadilan Agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan perekonomian syariah, maka wawasan yang dimiliki para Hakim Pengadilan Agama juga tentu masih terbatas. Wawasan para Hakim Agama tentang perekonomian syariah, masih cukup jauh dibandingkan dengan wawasannya mengenai masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf dan shadaqah yang selama ini ditanganinya.
Paling tidak, ada beberapa hal penting dalam konteks kewenangan Peradilan Agama berkenaan dengan kompetensi barunya untuk menangani sengketa perekonomian syariah. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, para Hakim Pengadilan Agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisi fiqh Islam .
Kedua, para Hakim Pengadilan Agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksadana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah.
Ketiga, para Hakim Agama juga perlu meningkatkan wawasan hokum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga konsepsi dalam fiqh Islam.
Jadi, menurut UU Peradilan Agama yang baru, Pengadilan Agama bisa meng-cover perkara perdata dan pidana. Tetapi tidak semua perkara pidana bisa dicakup. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan memberi contoh penerapannya di Aceh. Bahwa Mahkamah Syar’iyah di sana dapat menyidangkan perkara pidana, sepanjang yang sudah diatur di dalam Qonun, seperti halnya masalah khamr (minuman keras), khalwat (berduaan bukan muhrim), atau maysir (berjudi). Sedangkan untuk perkara pidana dalam dunia perbankan syariah, masih belum ada pengaturan di dalam Qonun-nya. Itu berarti perkara pidana dalam dunia perbankan syariah masih menjadi kewenangan Peradilan umum .
D. Sistem Pemerintahan Pada Masa Orde Reformasi
Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUd 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan multi partai
2. Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersuh dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR / 1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melaui siding tahunan dengan menuntuk adanya laporan pertanggung jawaban tugas lembaga negara , UUD 1945 di amandemen, pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang istimewanya.
4. Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000 dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat adalah Soesilo Bambang Yodoyono dan Yoesuf Kala, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD.
Di dalam amandemen UUD 1945 ada penegasan tentang sistem pemerintahan presidensial tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat. Dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
BAB 111
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani , Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Islam Press, 1994
Mujahidin,Ahmad,Peradilan Satu Atap Indonesia,Bandung:PT.Refika Aditama,2007
Muhammad Asrun,Krisis Peradilan:Mahkamah Agung di bawah Soeharto,jakarta:ELSAM,2004
Shomad,Abdul,Hukum Islam Panorama prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia,Jakarta:Kencana,2010
Mertokusumo,Sudikno,Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan Di Indonesia Sejak 1942 dan apakah kemanfaatannya Bagi Bangsa Indonesia,Yogyakarta:Liberty,1983
Tag :
Ilmu Hukum
0 Komentar untuk " Pengertian Pemerintah Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru"