Pengertian Tradisi dan Budaya NU

Pengertian Tradisi dan Budaya NU dunia ilmu
Pengertian Tradisi dan Budaya NU dunia ilmu



BAB I

PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang


Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyasarakat Jawa menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring dengan waktu berjalan tidak lama kemuadian Islam masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persia dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab. Kedatangan Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan kubur bernama Fatimah binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.

Dengan seiring berkembangnya zaman, Islam mulai terpecah menjadi beberapa aliran dan organisasi. Salah satunya adalah Nahdlatul Ulama yang menjadi basis terbesar di Indonesia, terutama ditanah jawa. Nahdlatul Ulama sangat erat kaitannya dengan ajaran Walisongo yang menyiarkan agama ditanah jawa, dan Nahdlatul ulama memiliki pandangan tersendiri mengenai Budaya adat istiadat yang sangat kental ditanah jawa.

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.


B.       Rumusan Masalah


1.         Apa pengertian dari Tradisi?

2.         Apa pengertian dari Budaya?

3.         Apa sejatinya NU yang sebenarnya?

4.         Bagaimana Tradisi dan Budaya menurut pandangan NU?


C.       Tujuan Penulisan


1.         Untuk mengetahui pengertian dari Tradisi.

2.         Untuk Mengetahui pengertian dari Budaya.

3.         Untuk mengetahui sejatinya NU.

4.         Untuk mengetahui Tradisi dan Budaya menurut pandangan NU.


















BAB II

PEMBAHASAN



1.    Pengertian Tradisi


Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[1]

Tradisi yang dimaksud tingkah laku, kebiasaan, dan aturan-aturan tidak tertulis yang dipegang teguh oleh para kiai NU, baik dalam kehidupan berorganisasi maupun bermasyarakat sebagai konsekuensi dari ajaran Islam yang dipelajari dan diajarkannya. Dalam konteks ini, tradisi, meminjam beberapa variabel yang digunakan Koentjaraningrat sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai-nilai, moral, dan peraturan-wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak yang lokasinya terletak dalam alam pikiran manusia warga masyarakat.[2]


2.    Pengertian Budaya


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.[3]

Agama dan budaya merupakan dua unsur  penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik-menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain.


3. Sejatinya NU


Banyak yang tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya NU. Mereka yang termakan fitnah dengan tanpa malu menyatakan bahwa NU adalah wadah amaliyah-amaliyah yang tidak berdasar dalil dan lebih cenderung mengikuti budaya, takhayul, syirik, bid’ah dan khurafat. Lebih menyakitkan lagi tatkala NU disamakan dengan organisasi jahiliyah. Begitulah fakta yang terjadi di daerah atau masyarakat minus ajaran agama.

Para pendakwah anti NU akan menuding kelompok masyarakat yang masih aktif nyadran atau mendatangi ke tempat-tempat wingit atau yang dikeramatkan sebagai ciri khas budaya NU. Pembacaan tahlil dan selametan (kenduri) divonid sebagai produk kufur dan yang menghidupkannya adalah orang NU.

NU hadir bukan untuk mengusung faham kufur atau membela praktik bid’ah, tetapi NU hadir sebagai organisasi masyarakat yang Islami, moderat dan fleksibel terhadap budaya selama tidak menabrak garis-garis yang sudah dipetakan ulama Ahlussunnah. Sehingga ke depan, diharapkan ajaran Islam benar-benar dapat membumi, membudaya, dan menyatu dengan masyarakat luas.[4]

Tiga pilar yang menjadi pondasi dan anggaran dasar NU juga segaris dengan yang disepakati mayoritas ulama Ahlussunnah. Ketiganya adalah:

a)      Di bidang fiqih, Ahlussunnah (NU) menganut madzhab empat, yakni madzhab Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Empat madzhab ini telah mendapat pengakuan dari segenap muslimin, termasuk pengikut Salafi-Wahabi.

b)      Di bidang Tauhid (akidah), NU menganut faham yang diusung oleh Abul Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dan Abu Mansur al-Maturiddi (Maturidiyah).[5]

c)      Di bidang Tasawuf, NU menganut madzhab Imam Junaid al-Baghdadi, Imam Ghazali dan lain-lain.

Meski dalam perjalanannya, warga NU lebih banyak mengikuti madzhab Syafi’I dalam fiqih dan madzhab Asy’ari dalam tauhid. NU yang mengakui madzhab bukan berarti bersaing menyelisih dan melawan madzhab Rasulullah sebagaimana yang disangkakan sebagian kelompok bid’ah. Lantaran bagaimanapun, yang berhak mengambil hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah seorang yang memenuhi kelayakan sebagai mujtahid, dan bukan orang awam biasa. Dan sudah seharusnya yang bukan mujtahid mengikuti mujtahid karena dialah yang diberi anugrah pemahaman agama level tinggi dari Allah SWT. NU adalah bagian dari mereka yang memahami nash Al-Qur’an dan as-Sunnah lewat pemahaman mujtahid.

NU juga dikenal sangat menghormati ulama dan auliya’. Meski sebagian kelompok mencela tindakan mulia tersebut dengan tuduhan bahwa warga Nahdliyin mengkultuskan atau fanatic kepada ulama dan tidak kepada Islam. NU sepenuhnya mengakui jika fanatisme atau mengkultuskan adalah sikap tercela, tetapi memuliakan ulama atau ngalap berkah auliya’ bukan berarti mengkultuskannya.

NU juga selalu taat mengikuti fatwa ulama dan aturan main hukum fiqih yang telah terkodifikasikan dan dibuat kaidahnya oleh ulama yang kredibel dan mumpuni. Sehingga dalam menetapkan suatu hukum, NU tidak asal comot dalam memahami dalil-dalil agama tanpa prosedur yang jelas, tetapi NU mengedepankan pemahaman ulama yang saleh yang mu’tabar. Dan itu dapat dilihat dari daurah atau majlis-majlis bahtsul masail yang biasa mereka laksanakan. Dalam hal khilafiyah, NU juga bisa mendudukkannya secara proporsional dan menghormatinya sebagaimana akhlak para salaf.[6]

4. Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU


Budaya lokal tidak bisa saja ditolak tatkala kita membicarakan perkembangan Islam di Indonesia. Hal ini terkait dengan bantahan sebagian kelompok, bahwa Islam di Indonesia sudah tidak lagi murni, tetapi sudah berubah menjadi Islam budaya. Menurut mereka Islam adalah Islam dan budaya adalah budaya dan keduanya tidak bisa disatukan atau dicampuradukkan.[7]

Istilah “nahdliyin” menunjuk pada para pengamal paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang diidentifikasikan kepada umat Islam yang tergabung dalam NU, komunitas muslim yang umumnya terbentuk dalam proses sejarah Islam Indonesia yang terkonsentrasi di pedesaan. Selain itu, mereka lekat dengan budaya Jawa, budaya yang di dalamnya orang-orang NU lahir dan NU sendiri berasal dari pulau Jawa. Akar sejarah yang seperti inilah yang melahirkan pemotretan social adanya kerapatan, bahkan tak terpisahkan antara budaya Jawa dan eksistensi kaum nahdliyin.

Sikap kaum nahdliyin mampu menyesuaikan antara agama dan budaya Jawa, khususnya dan budaya bangsa Indonesia pada umumnya. Itulah sebabnya, kaum nahdliyin sangat akrab dengan budaya lokal dan mempunyai tradisi yang sangat kuat untuk menjalankan syari’at Islam. Cara yang ditempuh NU dalam menghadapi budaya local adalah kompromi, tidak bersikap destruktif, tetapi sedapat mungkin membiarkannya tetap hidup dimasyarakat sambil mengisinya dengan jiwa dan semangat Islam. Inilah yang menjadi salah satu sumber kekuatan NU sehingga lahirnya NU tidak berhadapan dengan budaya lokal masyarakat, bahkan mampu menyatukan aspirasi kebudayaan dengan aspirasi keislaman.

NU menyadari, bahkan meyakini, bahwa apresiasinya yang tinggi terhadap kebudayaan yang ada di tengah masyarakat tidak sampai masuk dalam kategori bid’ah, khurafat dan syirik. Misalnya, peringatan kematian hari pertama, ketiga, ketujuh, keseratus, keseribu hingga haul. Jika memang bid’ah, namanya adalah bid’ah kebudayaan. Bid’ah jenis ini justru merupakan keharusan.

Kemampuan NU mendudukkan kebudayaan secara proporsional dan yang seharusnya telah menempatkan NU sebagai orgnisasi yang concern dalam pemeliharaan tradisi Islam di Indonesia. Kekuatan ini bukan hanya terletak pada pola pikir tradisionalnya, melainkan juga karena NU bertolak pada khadim al-ummah. Implikasinya, NU lebih populis di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tanpa berkonfrontasi dengan mereka. Kerapatan dan kedekatan NU dengan kebudayaan lokal memposisikan eksistensi NU didukung oleh berbagai kelompok social dan aliran seperti kaum abangan, bahkan non-Islam. Tradisi tahlilan misalnya, di daerah-daerah minus agama yang terkadang diikuti oleh orang-orang yang beragama Hindhu atau Budha. Ini terjadi karena sikap NU yang selalu mengakomodasi tradisi masyarakat dan berusaha menghindari sikap konfrontatif yang karenanya terjadi jarak dengan masyarakat, apalagi menyerang tradisi mereka.

Upaya pembaharuan yang dilakukan NU adalah mengambil hal baru yang lebih baik. Jadi, NU berada di tengah-tengah antara tradisi lama dan budaya baru yang lebih baik. Sikap tengah-tengah (wasathan) ini merupakan bukti nyata bahwa NU berupaya membangun wacana baru dan khas dibandingkan  organisasi lain dalam upaya merespons arus modernisasi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa di dalam tubuh NU ditemukan akar proses persemaian tentang tumbuhnya neomodernisasi yang dialami NU. Ketika organisasi Islam lainnya bermusuhan dengan tradisi lokal guna mengikuti irama kemodernan, NU justru berusaha melindunginya, lalu menjadi organisasi yang berkarakter melindungi tradisi.[8]

Dan berikut ini contoh beberapa budaya yang ditolerir dan diterima dalam Islam:[9]

a)    Budaya melumuri bayi dengan minyak za’faran saat aqiqah pada hari ketujuh dan mencukur rambut bayi sebenarnya adalah budaya Arab Jahiliyah dan ahli kitab yang ditetapkan dalam Islam. Hanya saja sebelum Islam kepala sang bayi dilumuri dengan darah hewan aqiqah.[10]

b)   Mengadakan haflah (resepsi) pernikahan, memainkan musik, dan menghias pengantin juga merupakan budaya Jahiliyyah yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW saat menikahkan putrinya juga membuat haflah dan menghiasnya.

c)    Penyerahan pengantin, baik pria atau wanita, dengan nasehat-nasehat yang baik juga budaya sebelum Islam yang masih dilakukan dalam Islam.

d)   Melamar wanita untuk dinikahi juga budaya Jahiliyyah yang ditetapkan Rasulullah SAW dalam Islam.

e)    Menyerahkan mahar nikah juga budaya Jahiliyyah yang ditetapkan Islam.

f)    Puasa Asyura yang dahulunya dilakukan oleh orang Yahudi Madinah. Alasannya pada tanggal itu Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa dari serbuan tentara Fir’aun. Dan saat itu Rasulullah SAW datang ke Madinah, maka beliau merasa lebih berhak atas puasa tersebut.[11]

g)   Penghitungan kalender Masehi dimulai sebelum Rasulullah SAW diutus menjadi Nabi, dan penanggalan tersebut tetap diperbolehkan dalam Islam sampai sekarang.

h)   Bulan Hijriyah yang berjumlah 12 juga diambil dari nama yang dibuat oleh orang Arab sebelum Rasulullah SAW diutus  menjadi Nabi.

i)     Nama Asyhurul-Hurum (Bulan-bulan yang dimuliakan: Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam) diambil dari nama dan keyakinan orang Arab sebelum Islam dan faktanya diterima Islam.[12]

j)     Budaya syair-syair Arab Jahiliyyah tetap digunakan dalam Islam. Bahkan Sayyidina Abdullah bin Abbas dalam menafsiri ayat al-Qur’an tatkala menemui kesulitan arti lafazh-nya, beliau merujuk syair-syair Arab Jahiliyyah.

k)   Haul, yaitu upacara peringatan ulang tahun wafatnya seseorang (terutama tokoh agama Islam), dengan berbagai acara, yang puncaknya menziarahi kubur al-marhum atau al-marhumah. Tradisi ini sudah berlaku bagi semua kalangan, tidak terbatas pada orang-orang NU saja, tetapi berlaku pula pada komunitas masyarakat lainnya, sekalipun bukan muslim.[13]

l)     Tradisi tahlilan. Berkumpul untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah SAW, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak satu pun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih, dan semacamnya.[14]

m) Perjamuan makanan dalam acara tahlilan. Dalam setiap pelaksaaan tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia.[15]

n)   Tawassul, yaitu memohon datangnya suatu kemanfaatan atau terhindarnya bahaya kepada Allah dengan menyebut nama Nabi atau Wali untuk menghormati keduanya.[16]Jadi tawassul adalah sebab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para Nabi dan Wali diperbolehkanbaik saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para Nabi dan para Wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka.[17]

o)   Selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, untuk orang yang meninggal, dalam realitas sosial, ditemukan adanya tradisi masyarakat Jawa, jika ada keluarga yang meninggal, malam harinya banyak sekali para tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun jauh. Hal tersebut berlaku bagi kaum NU sampai pada hari ke-7, 40, 100,  sebab di samping bersiap menerima tamu, sanak keluarga, handai tolan, dan kerabat dekat, mereka mengadakan do’a bersama melalui bacaan-bacaan kalimat thayyibah, seperti bacaan Yasin, tahlil, tahmid, istighatsah dan diakhiri dengan membaca do’a yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal dunia.[18]

p)   Manaqib, yaitu membaca kisah cerita tentang orang sholeh, seperti kisah Nabi atau Waliyullah, misalnya saja membaca Manaqib syekh Abdul Qadir al-Jilaniy dan sebagainya. Tradisi membaca manaqib tersebut, biasanya dilakukan oleh masyarakat yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya kaum NU dan biasanya dibaca pada malam jum’ah atau ketika ada hajatan khusus.[19]

Dari contoh-contoh di atas  menunjukkan kepada kita bahwa Islam adalah agama yang fleksibel terhadap tradisi dan  budaya. Dan itu semua merupakan dalil yang dipakai NU bahwa Islam menerima budaya selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam.



BAB III

PENUTUP



Agama dan budaya merupakan dua unsur  penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik-menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain.

NU hadir bukan untuk mengusung faham kufur atau membela praktik bid’ah, tetapi NU hadir sebagai organisasi masyarakat yang Islami, moderat dan fleksibel terhadap budaya selama tidak menabrak garis-garis yang sudah dipetakan ulama Ahlussunnah. Sehingga ke depan, diharapkan ajaran Islam benar-benar dapat membumi, membudaya, dan menyatu dengan masyarakat luas.

Upaya pembaharuan yang dilakukan NU adalah mengambil hal baru yang lebih baik. Jadi, NU berada di tengah-tengah antara tradisi lama dan budaya baru yang lebih baik. Adapun contoh budaya yang ditolerir dan diterima dalam Islam adalah tahlilan, haul, selametan, resepsi pernikahan dan lain-lain.

Suatu perbedaan dalam keyakinan itu hal yang wajar, semua orang punya idealisme dan pandangan tersendiri, benar atau tidaknya suatu perkara itu tergantung Allah SWT. Kita sebagai umat beragama harus menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, kita diciptakan Allah sebagai khalifah dibumi bukan penghancur Agama itu sendiri. Setiap insan juga berhak memilih apa yang mereka anggap benar, dan tak seharusnya menyalahkan yang belum tentu salah.




DAFTAR PUSTAKA



Abdillah, Abu. Argumen Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Ta’awun, 2011.

Abdusshomad, Muhyiddin. Hujjah NU. Surabaya: Khalista, 2010.

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud. Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyyah. tth.

Anwar, Ali. Avonturisme NU. Bandung: Humaniora. 2004.

Katsir, Ibnu. Isma’il, Abu Al-Fida’iy bin Umar. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim. Juz. II. Beirut: Maktabah Dar al-Fikr. 1987.

Muhammad, Nurhidayat. Lebih Dalam Tentang NU. Surabaya: Bina ASWAJA. 2012.

Syatha, Abu Bakar. I’anah at-Thalibin. Bairut: Darul Fikr. 1993.

Zainy al-Hasyimiy, Muhammad Ma’shum. Ternyata Aku Orang NU. Surabaya: Darul Hikmah. 2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, di akses pada Kamis 11 Desember 2014, pukul 21:34 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi, di akses pada Kamis 11 Desember 2014, pukul 21:30 WIB



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi, di akses pada Kamis 11 Desember 2014, pukul 21:30 WIB

[2] Ali Anwar, Advonturisme NU, Bandung: Humaniora, 2004, hlm.134.

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, di akses pada Kamis 11 Desember 2014, pukul 21:34 WIB

[4] Nurhidayat Muhammad, Lebih Dalam Tentang NU, (Surabaya: Bina ASWAJA, 2012), hlm. 8-9.

[5] Sayyid Murtadha az-Zabidi, Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin (Bairut: Darul Fikr, tth), juz II, hlm. 6

[6] Nurhidayat Muhammad, Op. Cit., hlm. 10-13.

[7] Ibid. hlm. 14.

[8] Ali Anwar, Op. Cit., hlm. 116-118

[9] Nurhidayat Muhammad, Op. Cit., hlm. 15

[10]Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, tth), hlm.33.

[11] Muhammad al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (hadits no: 2004)

[12] Abu Bakar Syatha, I’anah at-Thalibin (Bairut: Darul Fikr, 1993), hlm. 307.

[13]Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Ternyata Aku Orang NU, (Surabaya: Darul Hikmah, 2008), cet. I, hlm. 27.

[14]Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU, (Surabaya: Khalista, 2010), cet. IV, hlm. 95.

[15]Ibid. hlm.98.

[16]Ibnu Katsir, Abu Al-Fida’iy Isma’il bin Umar, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz: II, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr, 1987), hlm. 50.

[17]Abu Abdillah, Argumen Ahlussunnah Waj Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Ta’awun, 2011), cet. II, hlm.46.

[18]Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy. Op. Cit., hlm.130.

[19]Ibid. hlm. 149-150.



Tag : Ke NU an
0 Komentar untuk "Pengertian Tradisi dan Budaya NU"

Back To Top