Penjelasan Tentang Hukum Pidana dunia ilmu |
HUKUM PIDANA
Hukum adalah sebuah aturan mendasar
dalamkehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian
ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam
tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang
mengatur. Dalam hukum dikenal dengan “Perbuatan Pidana”. Perbuatan pidana dapat terjadi kapan saja dan dimana
saja.
Tindak pidana
dalam kamus besar bahasa indonesia, diberi batasan sebagai berikut; “Perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang; tindak pidana”.
Didalam KHUP, juga
didalam perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan didalam
pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum
atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas
legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar apa yang dimaksudkan
didalam pasal-pasal itu masih di perlukan penafsiran.[1]
Dalam hukum pidana
Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana
umumnya di rumuskan dalam kondifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan
dalam KUHP maupun peraturan perundang-undanganan lainnya, yang merinci lebih
lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.
Dalam
buku II dan III KUHP indonesia terdapat berbagai cara atau tekhnik perumusan
perbuatan pidana(delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang dilarang
atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan barang siapa yang melanggarnya
atau tidak menaatinya diancam dengan pidana maksimum.
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam perumusan tindak
pidana:
1.
Dari sudut cara pencantuman unsur-unsur dan kualifikasi tindak
pidana. Dari sudut ini, ada tiga cara perumusan:
a.
Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Cara pertama ini adalah
merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalm
merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok dengan mencantumkan unsur-unsur
objektif maupun unsur subjektif, misalnya pasal 368: “barang siapa yang
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
dengan maksud untuk dimilki secara melawan hukum, diancam karena pencurian
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus ribu rupiah"
Dimaksudkan unsur pokok atau esensial adalah berupa unsur yang
membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu.
b.
Mencantumkan Unsur Pokok Tanpa Kualitatif dan Mencantumkan Ancaman
Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak
pidana KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur pokok tanpa menyebut
kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi
kualifikasi tertentu. Misalnya tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi
sumpah palsu.[2]
c.
Mencantumkan Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Cara ini sedikit digunakan. Hanya dijumpai pasal tertentu. Model perumusan dianggap sebagai pengecualian.
Misalnya pada kejahatan penganiayaan(351). Pasal 351 ayat 1 dirumuskan dengan sangat singkat,
yakni penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan.
2.
Dari sudut titik beratnya larangan
Ada dua rumusan:
a.
Cara formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan tegas
perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang mnjadi pokok larangan
rumusan itu adalah melakukan perbuatan melawan hukum tertentu. Jika perbuatan
yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai
pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yan melawan hukum
tersebut.
b.
Cara Materiil
Perumusan pidana dengan cara materiil maksudnya perbuatan pidana
yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari pidana
tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan
pidananya tidak menjadi persoalan dan
diancam oleh pidana oleh UU. [3]
Ada beberapa macam hukum pidana:
1.
Hukum Pidana Umum
Disebut
Hukum pidana umum, karena berlaku umum( orang-orang sipil dan para militer
2.
Hukum Pidana Militer
Berupa
aturan hukum pidana khusus bagi anggota bersenjata Republik Indonesia
3.
Hukum Pidana Fiskal
Berupa
aturan dan ketentuan pidana mengenai penghasilan dan persewaan negara.[4]
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar tertentu:
1.
Menurut sistem KUHP
Menurut KUHP yang berlaku sekaramg, peristiwa pidana itu ada dua
yaitu kejahatan dan pelanggaran. KUHP tidak memberikan ketentuan syarat-syarat
untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran hanya menentukan semua yang terdapat
dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III
adalah pelanggaran.[5]
2.
Menurut Cara Merumuskanya
Tindak
pidana dibedakan menjadi dua yaitu tindak pidana formil dan materiil.
3.
Berdasarkan Bentuk Kesalahanya
Dibedakan antara Tindak pidana sengaja dan tidak disengaja
4.
Berdasarkan Macam Perbuatanya
Dibedakan
antara tindak pidana aktif dan tndak pidana pasif[6]
C. Subjek Tindak Pidana
Dalam KUHP terdapat
lima bentuk subjek tindak pidana, yaitu:
1. Mereka yang melakukan
2. Menyuruh melakukan
3. Meeka yang turut serta
4. Penggerakan( perbuatan
dengan cara menjajnjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan menyalah
gunakan kekuasaan.
5. Pembantuan
D. Sistem Hukum Pidana
Dalam pasal 10 KUHP disebutkan
jenis-jenis Pidana yang dapat dikenakan tindak pidana yaitu:
a. Pidana Pokok : Pidana mati,
Pidana penjara, Kurungan, Denda.
b. Pidana Tambahan: Pencabutan
hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.[7]
E. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, terdisri dari tiga buku:
1. Buku I, memuat tentang
Ketentuan Umum (pasal 1-103), yakni mengatur perihal lingkungan kekuasaan
berlakunya ketentuan hukum pidana, pidana yang dipakai dalam hukum pidana kita.
2. Buku II, memuat perihal
Kejahatan (pasal 104-488), yakni antara lain tentang pencurian beserta
pidananya, penggelapan beserta ancaman pidananya, pembunuhan dan lain
sebagainya.
3. Buku III memuat perihal
Pelanggaran (pasal 489-570)[8]
Menurut asas-asas hukum pidana indonesia, badan hukum tidak dapat
mewujudkan tindak pidana. Dengan alasan bahwa hukum pidana indonesia dibentuk
berdasarkan ajaran kesalahan individu.
F. Tujuan pemidanaan
bahwa pada prinsipnya tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori
pemidanaan yang lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan
terbagi dua dan dari penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu
teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan yang dijadikan
alasan pembenar penjatuhan pidana :
1. Teori absolut atau
teori pembalasan (vergeldings theorien)
Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan dan teori
ini lahir pada akhir abad ke-18. Menurut teori-teori absolut ini, setiap
kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh tidak tanpa tawar-menawar.
Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.[9] Maka,
pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang
telah melakukan kejahatan.
Jadi, dalam teori ini
pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara yang
bertujuan menderitakan penjahat akibat perbuatannya. Tujuan pemidanaan sebagai
pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan
jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan
2. Teori relatif atau
teori tujuan (doeltheorien)
Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk negasi
terhadap teori absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah suatu
bentuk penyempurnaan dari teori absolut) yang hanya menekankan pada pembalasan
dalam penjatuhan hukuman terhadap penjahat. Teori yang juga dikenal dengan nama
teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud
hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman (nut van destraf).
Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib
masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Wujud pidana ini
berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu dibedakan
prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada
umumnya tidak melakukan delik.
3. Teori gabungan (verenigingstheorien)
Teori gabungan
merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relatif yang
menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat. Dalam
teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah
dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan penekanan
atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut ke dalam bentuk teori
gabungan, teori ini dibedakan menjadikan tiga bentuk yaitu, teori gabungan yang
menitikberatkan unsur pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang
menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yang memposisikan
seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.
HUKUM PERDATA
Ialah
rangkaian dari aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang yang satu dengan yang lain di dalam masyarakat,seperti: hukum jual beli,
sewa menyewa, dan lain-lain.
Hukum
perdata dapat pula diartikan sebagai hukum perdata materiil dan formil.
Hukum
perdata materiil adalah hukum perdata yang membebankan hak dan kewajiban dari
perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam pergaulan masyarakat dan
didalam kekeluargaan. Sedang hukum perdata formil ialah serangkaian dari
aturan-aturan hukum yang mengatur cara-cara bagaiman aorang mempertahankan
hukum perdata materiil bila terjadi pelanggaran. Seperti digunakan cara dengan
perantara hakim atau pengadilan
A.
Keadaan hukum perdata di indonesia
Hukum
perdata yang berlaku di indonesia masih dalam keadaan dualistis atau bahkan
dapat juga dikatakan dalam pluralistis.
B.
Isi Hukum perdata
Dari
segi ilmu pengetahuan hukum hukum perdata dibagi:
1.
Hukum perorangan
2.
Hukum keluarga
3.
Hukum harta kekayaan
4.
Hukum waris
Sedang
berdasarkan sistimatika KU Perd terdapat
bagian-bagian:
1.
Buku I berisi perihal orang
2.
Buku II berisi perihal benda
3.
Buku III berisi perihal perikatan
4.
Buku IV berisi perihal pembuktian dan kedaluwarsaan.
Dilihat
dari perkembangan hukum perdatadi indonesia sekarang menunjukkan tendensi
untukmembidangkan isinya menjadi bagian-bagian sebagai berikut:
1.
Bidang hukum keluarga
2.
Bidang hukum waris
3.
Bidang hukum benda
4.
Bidang hukum jaminan
5.
Bidang hukum perikatan
6.
Bidang hukum badan-hukum
7.
Bidang hukum perjanjian khusus
Hukum
perorangan memuat ketentuan-ketentuantentang manusia sebagai subjek hukum,
peraturan-peraturan tentang kecakapan atau kemampuan untuk memliki hak dan
kecakapan untuk melakukan sendiri pelaksanaan hak-hak tersebut.
Hukum
keluarga yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang terjadi
sebagai akibat adanya pernikahan.
Hukum
harta kekayaan yaitu suatu peraturan yang mengatur hukum antara orang dengan
benda atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.
Hukum
harta kekayaan meliputi dua bidang:
a.
Hukum kebendaan ialah aturan –aturan yang mengatur hubungan orang
dengan kebendanaan
b.
Hukum perikatan ialah aturan-aturan yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan yang lain di dalam lapangan harta kekayaan,
dimana pihak yang satu mempunyai hak menuntut suatu prestasi dari pihak lainya
yang wajib memenuhi tuntutan itu.
Hukum
waris
Dalam
hukum waris berlaku suatu asas bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
lapangan hukum kekayaan saja yang dapat diwaris.
Hukum
waris pada asasnya hanya mengatur 4 hal:
1.
Siapa-siapa yang tergolong ahli waris
2.
Penggolongan ahli waris dan urutanya diantara mereka
3.
Berapa bagian masing-masing ahli waris
4.
Apa saja yang dapat dipesankan oleh seorang bila ia meninggal dan
batas-batas kekuasaan seorang untuk membuat pesan-pesan harta peninggalanya. [10]
[1] Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011), hal.
55-56.
[2] Adami Chazawi,
Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta :Raja Garafindo Persada, 2002),
HAL.112-114
[3] Prof. Dr. D.
Schaffmeister, Prof. Dr. N. Keijzer, Mr. E. PH. Sutorius, Hukum Pidana,(Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hal.30-31.
[4] Hartono Hadisoeprapto, S.H., Pengantar Tata Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2011), hal. 144-145
[5] C.S.T. Kansil
dan Kristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakrata: P.T.
Pradinya Paramita, 2007), hal. 41.
[6] Adami Chazawi,
Op. Cit. , hal.123
[8] Hartono Hadisoeprapto, Op.Cit., hal. 150-151
[9] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia, (Bndung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 23.
[10] Hartono Hadisoeprapto, S. H., Op.Cit., hal.80-106.
Tag :
Ilmu Hukum
0 Komentar untuk "Penjelasan Tentang Hukum Pidana dan Perdata"