Sejarah Perdaban Islam di Indonesia

Sejarah Perdaban Islam di Indonesia dunia ilmu
Sejarah Perdaban Islam di Indonesia


A.  Pendahuluan

1.    Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan, karena wilayah Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau-pulau besar maupun pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah. Oleh karena wilayah Indonesia yang terbagi-bagi menjadi beberapa pulau, Indonesia kaya akan kebudayaan dan peradaban yang berbeda-beda di setiap wilayahnya.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia sebelum datangnya Islam telah mempunyai kepercayaan sendiri yang disebut animisme dan dinamisme. Setelah beberapa lama perkembangan peradaban bangsa Indonesia mulai diwarnai dengan kepercayaan Hindu-Budha, hal ini ditandai dengan tersebarnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha seperti Majapahit, Singasari, Sriwijaya dan lain-lain.
 Kemudian sekitar abad ke-7 M Indonesia kedatangan pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India.[1] Para pedagang tersebut lebih mudah diterima oleh masyarakat pada masa itu, karena mereka datang dengan damai tanpa adanya pertentangan maupun perlawanan.
Pada perkembangan selanjutnya, para pedagang tersebut mulai mengenalkan dan mengajarkan  ajaran yang mereka bawa kepada masyarakat setempat. Adapun cara-cara penyebaran agama Islam yang mereka gunakan adalah melalui beberapa jalur diantaranya: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.[2] Sekitar abad ke-9 M berdiri kerajaan Islam yang pertama yaitu Kerajaan Perlak, menyusul kerajaan-kerajaan Islam lainnya seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, Banten dan lain-lain.[3]
Akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang, tapi setelah melihat kekayaan Indonesia Belanda bermaksud memonopoli perdagangan di Indonesia, hal tersebut menimbulkan banyak perlawanan dari pribumi. Sehingga sejarah mencatat bahwa masa Imperialisme Barat adalah masa berpuluh-puluh pemberontakan di berbagai daerah.
Tahun 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Kemudian masa pendudukan Indonesia beralih ke tangan pemerintahan Jepang. Jepang menguasai Indonesia kurang lebih berlangsung selama 3,5 tahun, baru kemudian bangsa Indonesia terlepas dari jeratan penjajah.
Dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia di atas, mulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme sampai Indonesia merdeka, adalah beberapa peristiwa yang mewarnai peradaban dan kebudayaan Indonesia. Khususnya peradaban Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, mengingat negara Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam yang bertahan sampai saat ini.

2.    Rumusan Masalah

Dalam pembahasan yang berkaitan dengan peradaban Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa tersebut, mengingat sejarah mencatat bahwa masa pendudukan Belanda dan Jepang di Indonesia berlangsung kurang lebih selama 3,5 abad. Oleh karena itu, penyusun  membatasi pembahasan yang akan dikaji dalam makalah ini hanya berkisar tentang:
a.       Bagaimana situasi peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dan Jepang?
b.      Berapa lama periode penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia?
c.       Pembangunan peradaban Islam apa saja pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia?

3.    Tujuan Penulisan

Dalam kaitannya dengan akademisi, karya tulis adalah hal yang vital terkait apa yang dipelajari dalam lingkup universitas tak pernah bisa lepas dengan karya-karya tulis ilmiah, baik itu berupa: makalah, artikel, resume, paper, skripsi maupun desertasi. Oleh karena itu, penulisan makalah inipun juga mengandung hal-hal yang tersirat maupun yang tersurat yang erat kaitannya dengan akademisi, diantara tujuan-tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang di berikan oleh dosen pengampu mata kuliah tersebut.
b.      Guna mengetahui situasi dan kondisi peradaban Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia.
c.       Untuk mengetahui berapa lama Belanda dan Jepang menduduki tanah Indonesia.
d.      Mengetahui pembangunan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.


B.  Pembahasan

Pada bulan April 1595 empat buah kapal Belanda berlayar menuju kepulauan Melayu dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tujuan utama perjalanan itu adalah ke Jawa Barat, yang tidak terpengaruh oleh Portugis.[4] Menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama. Bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik tetapi juga proses Islamisasinya. Di Sumatera, penduduk sudah Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi proses Islamisasi baru saja berlangsung.[5]
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, pertama-tama adalah untuk mengembangkan usaha perdagangan, tetapi setelah melihat kekayaan Indonesia mereka bertujuan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di bawah komando Gubernur Jenderal J.P. Coen. Dalam upaya melaksanakan monopoli, mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan.[6]
Selain itu pemerintah Kolonial sangat membebani masyarakat seperti: rodi, tanam paksa (cultuur stelsel), pajak, penyewaan tanah penduduk untuk perkebunan tebu, dan berbagai peraturan yang sangat membatasi kebebasan penduduk, di samping perilaku orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia. Sejarah mencatat bahwa setiap penghinaan yang dilakukan Pemerintah Kolonial selalu dijawab dengan pemberontakan, sehingga para pendiri negara merumuskan sejarah kolonialisme di Indonesia sebagai sejarah berpuluh-puluh pemberontakan melawan imperialisme.[7]
Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas muslim. Agama Islam secara terus-menerus menyadarkan pemeluknya bahwa mereka harus membebaskan diri dari cengkeraman pemerintahan kafir.  Perlawanan dari Raja-raja Islam terhadap pemerintahan Kolonial bagai tak pernah henti. Padam di suatu tempat muncul di tempat lain. Belanda menyadari bahwa perlawanan itu diinspirasi oleh ajaran Islam.
Penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan bagi imperialisme. Bagi para penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata. Pertama, mendapat dukungan dari rakyat, karena rakyat banyak dari kalangan petani dan pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Kedua, selain para penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan dukungan rakyat, juga dapat memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari Imperialis Barat.
Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharu dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Ternyata pesantren itu tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi.[8]
Sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869, setiap tahun ribuan umat Islam Indonesia pulang dari Makkah sehabis menunaikan ibadah haji. Mereka datang dengan ajaran ortodoks menggantikan ajaran mistik dan sinkretik. Sementara itu, banyak perlawanan umat Islam yang dimotori oleh para haji dan ulama, sehingga banyak kalangan Belanda yang berpendapat bahwa ibadah haji menyebabkan pribumi menjadi “fanatik”. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan banyak peraturan untuk mempersulit kaum muslimin dalam menunaikan ibadah haji.
 Dalam hal ini, Snouck Hurgronje berusaha mendudukkan masalah antara ibadah haji dan fanatisme. Menurutnya, haji-haji itu tidak berbahaya bagi kedudukan pemerintah Kolonial di Indonesia. Yang mungkin sekali berbahaya ialah apa yang disebutnya koloni Jawa, yaitu daerah tempat tinggal orang-orang yang  berasal dari Indonesia di Makkah. Karena pergaulan hidup bertahun-tahun, mereka telah menciptakan kesadaran yang lebih tinggi tentang persatuan kaum Muslimin sedunia. Di sana mereka memperoleh bacaan-bacaan di tempat-tempat pendidikan agama dan turut serta dalam kehidupan dan usaha-usaha Pan-Islam.[9]
Padamasa penjajahan Jepang yang dimulai sekitar tahun 1942-1945, partai-partai Islam yang semula mengalami kemunduran progresif mendapatkan dayanya kembali. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis “sekular”, ketimbang pimpinan tradisional. Jepang berpendapat, organisasi-organisasi Islamlah yang sebenarnya mempunyai massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia ini dapat dimobilisasi.[10]
Sikap dan kebijakan Jepang terhadap Islam berbeda dengan sikap netral Belanda terhadap Islam dalam arti nonpolitik, pihak Jepang berusaha membujuk para ulama Islam untuk bekerja sama dengan Jepang. Jepang memahami situasi Indonesia dengan mayoritas adalah umat Islam. Oleh karena itu, diletakkan dasar kebijakan dalam membina teritorialnya, dengan kebijakan yang disebut  Nippon’s Islamic Grass Root Policy (kebijakan politik Islamnya Jepang yang ditujukan mengekploitasi potensi ulama desa).
Kaum muslimin menduduki bagian penting dalam organ politik pemerintahan Jepang. Dalam hal yang berkaitan dengan ibadah, pemerintah Jepang tidak melarang pelaksanaannya termasuk dalam hal ibadah haji. Akan tetapi kondisi ekonomi bangsa dan rakyat Indonesia dalam keadaan tidak berdaya sama sekali dalam kekuasaan Jepang sehingga mengakibatkan ibadah haji pada masa ini menjadi terhenti.
Jepang membuka pintu lebar-lebar kepada umat Islam untuk berpengalaman dan turut serta secara langsung dalam politik dan latihan militer, dua corak pengalaman yang mempunyai makna tersendiri bagi langkah umat Islam Indonesia selanjutnya. Politik Jepang sangat sedikit mempertimbangkan Islam dalam tingkat sosio-religius, artinya Islam dalam hal perkembangan keagamaannya kurang mendapat dukungan dari Jepang. Misalnya dalam hal pendidikan, Jepang kurang mendukung perkembangan pesantren.[11]
Masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia berlangsung selama 3,5 abad lebih. Secara garis besar periode penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia terbagi atas beberapa periode diantaranya sebagai berikut:
Pertama, periode kedatangan Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1595 M, Perseroan Amsterdam mengirim empat kapal dagang di bawah komando Cornelis de Houtman, tahun 1598 M, di bawah pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Lalu angkatan ketiga tahun 1600 M, di bawah pimpinan Van Neck. Mulanya, perseroan itu berdiri sendiri-sendiri. Namun pada bulan Maret 1602 M disatukan menjadi Vereenigde Oust Indosche Compagnie (VOC).[12]
Kedua, periode ekspansi dan monopoli Belanda di Indonesia (abad 17 dan 18 M). Pada awalnya, kehadiran Belanda ke Indonesia adalah untuk mengembangkan perdagangan. Tapi, setelah Belanda melihat kekayaan Indonesia mereka bertujuan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di bawah komando Gubernur Jenderal J.P. Coen. Dalam upaya melaksanakan monopoli, mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Selain itu, pada tahun 1755 M VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa dengan perjanjian Giyanti, akibatnya Raja Jawa kehilangan kekuasaan politiknya.[13] Di Sumatera, kesultanan-kesultanan Islam dengan cepat jatuh ke tangan kekuasaan Belanda. Penetrasi VOC ke Minangkabau di jalankan dengan berbagai strategi sejak tahun 1663 M[14] dan masih banyak daerah-daerah lain yang jatuh dibawah kekuasaan Belanda.
Ketiga, periode pemberontakan-pemberontakan dan peperangan melawan Belanda. Dalam periode ini, Belanda menghadapi empat kali pemberontakan santri yang besar. (1). Perang Cirebon (1802-1806),  (2). Perang Diponegoro sebagai peperangan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa (1825-1830), (3). Perang  Paderi di Sumatera Barat (1821-1838), (4). Perang Aceh sebagai pemberontakan santri yang terpanjang atau terlama (1873-1908).
Keempat, periode pergerakan rakyat Indonesia (1908-1942). Pada periode ini ditandai dengan lahirya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 di Jakarta. Boedi Oetomo adalah organisasi pertama diantara bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern (dengan pengurus tetap, anggota, tujuan, rancangan, pekerjaan dan sebagainya didasarkan atas peraturan-peraturan yang telah ditetapkan).[15] Kemudian setelah lahirnya Boedi Oetomo muncul organisasi-organisasi lain yang bergerak di berbagai bidang seperti bidang politik, perdagangan, keagamaan dan lain-lain, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, Pendidikan Nasional Indonesia, Gerindo, Partai Persatuan Indonesia, Partai Komunis Indonesia dan lain-lain.
Kelima, periode kedatangan Jepang dan kekalahan Belanda oleh pemerintah Jepang. Pada 10 Januari 1942, Tarakan (Kalimantan Timur) diduduki Jepang. Tarakan adalah daerah pertama dari bumi Indonesia yang diduduki Jepang. Kemudian menyusul Minahasa, Balikpapan dan Ambon. Pada Februari 1942, Pontianak, Makassar, Banjarmasin, Palembang, dan Bali diduduki. Pada  1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di Pulau Jawa, kemudian Banten, Indramayu, Kragen dan Kalijati diduduki. Pada 5 Maret 1942, jati diri bangsa Belanda yang sesungguhnya ditelanjangi oleh Jepang. Jenderal Ter Poorten, Panglima Tertinggi Belanda di Jawa bertekuk lutut di depan Jenderal Imamura tanpa desingan peluru.[16]
Keenam, periode penjajahan Jepang (1942-1945). Pada awal pendudukan Jepang di Indonesia, sebuah kantor bernama Shumubu (Kantor Urusan Agama) didirikan di ibukota, dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya yang bernama Shumuka di seluruh Indonesia. Shumubu berfungsi sebagai kurang lebih seperti Office for Native Affairs (Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda, tetapi dalam perkembangannya Shumubu menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan fungsi Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan, Pendidikan, dan Keagamaan Umum.
3.    Pembangunan Peradaban Islam Pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia.
Islam datang di Indonesia dengan membawa peradaban baru yang memiliki corak keislaman secara khusus. Beberapa bentuk peradaban Islam mewarnai kehidupan dan pemikiran masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban Islam yang dibawa oleh oleh para mubaligh Islam Arab dikulturasikan dengan tradisi dan budaya setempat. Akulturasi antara peradaban Islam dan peradaban masyarakat setempat menjadi terpadu yang membawa dampak positif bagi perkembangan budaya Islam di Indonesia. Diantara peradaban Islam di Indonesia antara lain sebagai berikut:[17]
a.    Birokrasi Keagamaan
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang melalui jalur laut, menimbulkan pertumbuhan komunitas Islam yang pesat di daerah pesisir pulau-pulau Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga lebih banyak yang berada di daerah pesisir seperti kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore.
Raja-raja Aceh mengangkat para ulama menjadi penasehat dan pejabat di bidang keagamaan. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) mengangkat Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani menjadi Mufti (Qadhi Malikul Adil) Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) mengangkat Syaikh Nuruddin Ar-Raniri menjadi Mufti Kerajaan dan Sultanah Saefuddin Syakh mengangkat Syaikh Abdur Rauf Singkel. Kedudukan ulama sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam lainnya.
b.    Ulama dan Ilmu-ilmu Keagamaan
Penyebaran dan pertumbuhan peradaban Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama, yang diaplikasikan dengan dua cara. Pertama, membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh.
Ilmuwan Muslim terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, tokoh sufi terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asrarul Arifin fi Bayan ila Suluk wa al-Tauhid.
Di Aceh ulama yang banyak menulis buku adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang berasal dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut, tiba di Aceh pada tahun 1637 M. Karyanya yang sudah diketahui dengan pasti berjumlah 29 buah, diantara karyanya adalah Ash-Shirath Al-Mustaqim, Bustan Ash-Salatin, Asrar Al-Insan fi Ma’rifati Ar-Ruh wa Ar-Rahman,Tibyan fi Ma’rifat Al-Adyan, dan Al-Lama’ah fi Takfir man Qala bi Khalq Alqur’an.[18] 
Di Jawa ada beberapa ulama yang terkenal diantaranya, Syaikh Nawawi Al-Bantani (wafat 1894) dari Banten. Beliau menulis tidak kurang dari 41 buah kitab yang tersebar di berbagai wilayah dunia Islam termasuk Indonesia, beberapa karyanya antara lain, Nihayatuz Zain, Safinatun Naja, Nuruzh Zhalam, Kasyifatus Saja, dan yang terkenal adalah At-Tafsir Al-Munir.[19]
Di samping mereka yang disebutkan di atas, masih banyak para ulama lain yang sangat berjasa dalam pengembangan agama Islam di Indonesia melalui karya-karyanya. Di antaranya, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Syaikh Abdus Shamad, Syaikh Shaleh Darat,  Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ihsan Al-Jampasi Al-Kadiri dan lain-lain.
c.    Arsitek Bangunan
Oleh karena perbedaan latar budaya, arsitektur bangunan-bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni bangunan tersebut tercermin dalam beberapa masjid-masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, dan di daerah-daerah lain. Beberapa masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia-Hindu. Selain dari itu, nisan-nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon dan Banten menunjukkan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam.
d.   Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan budaya masyarakat Islam di Indonesia. Di beberapa sekolah menengah yang berbahasa Belanda, seperti MULO dan AMS pada tahun 1930-an diajarkan juga pelajaran agama. Hal yang sama juga berlaku pada zaman pendudukan Jepang, bahkan lebih teratur.[20]
e.    Organisasi-organisasi Islam
Beberapa organisasi Islam di Indonesia memiliki andil yang cukup besar terhadap proses pengembangan agama Islam. Termasuk dalam pembentukan  budaya Islam dalam masyarakat luas. Di antara organisasi-organisasi Islam di Indonesia adalah Jam’iyatul Khair, Syarikat Islam (SI), Muhammadiyyah, Nahdhlatul Ulama (NU), Jam’iyatul Washliyah, Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Persatuan Tarbiyyah Islamiyyah (PERTI), Persatuan Umat Islam (PUI), Mathlaul Anwar (MA), dan Persatuan Islam (PERSIS).[21]
f.     Ekonomi
Pada masa penjajahan Belanda salah satu kemajuan peradaban dalam bidang ekonomi adalah di bentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI) oleh H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Aktivis SDI selanjutnya membentuk kerjasama dagang antara Islam dan Cina Kong Sing.























C.  Penutup
Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan terkait dengan peradaban Islam yang terjadi pada masa Kolonial Belanda dan Jepang diantaranya sebagai berikut:
1.    Pada masa kolonial Belanda, sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869, setiap tahun ribuan umat Islam Indonesia pulang dari Makkah sehabis menunaikan ibadah haji. Mereka datang dengan ajaran ortodoks menggantikan ajaran mistik dan sinkretik karena pengaruh dari apa yang disebut koloni Jawa. Sementara itu, banyak perlawanan umat Islam yang dimotori oleh para haji, ulama dan santri. Pada masa penjajahan Jepang yang dimulai sekitar tahun 1942-1945, partai-partai Islam yang semula mengalami kemunduran progresif mendapatkan dayanya kembali.
2.    Penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia terbagi atas beberapa periode diantaranya sebagai berikut: periode kedatangan Belanda ke Indonesia, periode ekspansi dan monopoli Belanda di Indonesia, pemberontakan dan peperangan melawan Belanda, pergerakan rakyat Indonesia, periode kedatangan Jepang dan kekalahan Belanda oleh Jepang dan periode penjajahan Jepang di Indonesia.
3.    Pembangunan peradaban Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia meliputi: birokrasi keagamaan, arsitektur bangunan, ulama dan ilmu-ilmu keagamaan, lembaga pendidikan Islam, ekonomi dan munculnya organisasi-organisasi Islam.








Daftar Pustaka

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.  2010.
Munif, Ahmad “Peradaban Islam Di Indonesia Masa Penjajahan Belanda Dan Jepang” dalam Syaefudin, Machfud, dkk.  Dinamika Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta. 2013.
Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. 1986.
Silalahi, S. Dasar-dasar Indonesia Merdeka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Susanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Rajawali Pers. 2012.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.



[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 301.
[2] Ibid., hlm. 306.
[3] Ibid., hlm. 330.
[4] Ibid., hlm. 374.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. 25, hlm. 231.
[6] Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 373.
[7] S. Silalahi, Dasar-dasar Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 2.
[8] Musyrifah Susanto,  Sejarah Peradaban Islam Indonesia,  (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2012), hlm. 28.
[9] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 253.
[10] Ibid., hlm. 263.
[11] Musyrifah Susanto, Op. Cit., hlm. 38.
[12]Ahmad Munif, “Peradaban Islam Di Indonesia Masa Penjajahan Belanda Dan Jepang” dalam Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 282.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 283.
[15] A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 1.
[16] S. Silalahi, Op. Cit., hlm. 28-29.
[17] Badri Yatim, Op. Cit., hlm.299-305.
[18] Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 412.
[19] Ibid., hlm. 414.
[20] Ibid., 419.
[21] Ibid., 422-427.
0 Komentar untuk "Sejarah Perdaban Islam di Indonesia"

Back To Top