Sejarah Perkembangan Tasawuf

Sejarah Perkembangan Tasawuf dunia ilmu
Sejarah Perkembangan Tasawuf dunia ilmu


  1. Pendahuluan

Tasawuf sebagai amalan praktis para sufi atau sebuah disiplin ilmu telah mendapat perhatian yang cukup luas dan dalam dari para ilmuan secara umum dan peneliti tasawuf secara kusus. Diantara mereka , seperti yang diugkapkan oleh Ibnu Taimiyyah, ada yang melihat tasawuf sebagai suatu yang tanpa kebatilannya. Ada pula yang menolak kebenaran dan kebatilannya. Tetapi ada juga yang melihat secar objektif, berdasarkan panduan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Para peneiti yang melihat secara objektif, umumnya menegaskan segi positif (yang benar menurut syari’at). Al Syatibi misalnya melihat tasawuf dalam artian perbaikan akhlak mempunyai landasan yang kuat dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sementara tasawuf dalam artian hilangnya perhatian seseorang terhadap dirinya, dan hanya ada bersama Allah, menurutnya ada yang sesuai dengan syari’at, ada yang tidak.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, sebagai mana dikemukakan oleh Ibnu Kholdun, Tasawuf merupakan sebuah disiplin Agama yan baru, seperti halnya ilmu Ushul al-Fiqh, Mustholah Hdis, dan lain-lain.[1]
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam yang dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya daripada jasmaninya; dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana; sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoterik daripada eksoterik, yakni lebih menekankan penafsiran batini daripada penafsiran lahiriah.
Menurut Junaydi al-Baghdadi, Tasawuf merupakan bentuk penyerahan diri anda kepada Allah bukan kepada yang lain.[2]
Secara bahasa, tasawuf diartikan sebagai Sufisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Sedangkan pelaku tasawuf dinamakan sufi. Jadi secara sederhana Tasawuf dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun-nafs) sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah) sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
    

B.   Pembahasan

Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Pribadi Nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak terpesona oleh kemewahan dunia, juga merupakan benih-benih tasawuf. Ibadah Nabi SAW juga merupakan cikal bakal tasawuf, karena beliau adalah orang yang paling tekun beribadah. Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak Nabi tidak hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat firman Allah SWT yang artinya: “dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS.68:4)[3]
Dalam sejarahnya perkembangan ilmu tasawuf itu melali beberapa periode / masa. Yaitu :
1.      Masa Pembentukan
Pada abad I Hijriyah bagian kedua, lahirlah Hasan Bashri, seorang zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Ia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Bashrah pada tahun 728 M. Bashri tampil pertama dengan membawa ajaran khauf dan raja’, mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu tampil pula guru-guru yang lain, yang dinamakan qari’, mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan kaum muslimin.
Kemudian pada akhir abad II Hijriyah, muncul Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hubb al-ilah). Selanjutnya tasawuf pada abad II Hijriyah ini, tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan.
Abul al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud Islam pada abad I dan II Hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:[4]
a.    Menjauhkan diri dari dunia menuju ke akhirat yang berakar pada nas agama, yang dilatarbelakangi oleh sosiopolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis (belum berujud dalam sistimatika dan teori tertentu), tujuannya untuk meningkatkan moral.
b.       Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu.
c.       Motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya.
d.      Menjelang akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnya di Khurasan,  dan Rabi’ah al-Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi abad III dan IV Hijriyah.

2.       Masa Pengembangan

Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan Khalik. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’ fi al-Mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-Mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya (‘ain al-jama’) seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bustham (261 H), seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur atau hancurnya perasaan) sehingga ia dianggap sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.[5]
Nicholson mengatakan bahwa Abu Yazid mendapat julukan sebagai pendiri tasawuf yang berasal dari Persia, yang memasukkan ide Wahdah al-Wujud sebagai pemikiran orisinil dari Timur sebagaimana theosofi merupakan kekhususan pemikirang Yunani (Nicholson, 1969).
Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yakni al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori al-Hulul (inkarnasi Tuhan). Al-Thusi dalam al-lukman (1960) menyatakan bahwa hulul ialah: “Allah memilih suatu jisim yang ditempati makna rububiyyah, dan leburlah daripadanya makna basyariyyah.
Di samping pandangan hululnya dia juga mempunyai pandangan tentang teori Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan. Dalam teori Nur Muhammad dinyatakan bahwa ia merupakan asal segala sesuatu, asal segala kejadian, amal perbuatan, dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaranya, ala mini diciptakan.
Pada akhir abad III orang berlomba-lomba pula menyatakan dan mempertajam pemikirannya tentang kesatuan penyaksian (wahdah al-syuhud), kesatuan kejadian (wahdat al-wujud), kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittishal), keindahan dan kesempurnaan Tuhan (jamal dan Kamal), manusia sempurna (insan kamil), yang kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan teratur (riyadhah). Kemudian datanglah Junaidi al-Baghdady meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqah, cara mengajar dan belajar ilmu tasawuf, syekh, mursyid, murid dan murad, sehingga dia mendapat predikat Syekh al-Thaifah (ketua rombongan suci). Dengan demikian, tasawuf abad III dan IV Hijriyah sudah sedemikian berkembang, sehingga sudah merupakan madzhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri.
Pada abad III dan IV Hijriyah, terdapat dua aliran. Pertama, aliran tasawuf sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Hadist secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan ruhaniah) mereka kepada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf “semi falsafi”, dimana para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyat) serta bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul) (Abu al-Wafa, 1970).[6]  
Pada masa ini di tandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya aliran theology Ahl Sunnah wa al-Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Bushthamy dan al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syatahiyatnya yang Nampak bertentangan dengan kaidah dan akidah Islam. Oleh karena itu tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut istilah Annemarie Schimmael merupakan periode konsolidasi, yakni periode yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Qur’an dan al-Hadist. Tokoh-tokohnya ialah al-Qusyairi (376-465 H), al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450-505 H).[7]
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad V Hijriyah. Karyanya banyak dipakai sebagai rujukan para sufi, seperti al-Risalah al-Qusyairiyah. Dia terkenal pembela theologi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, yang mampu mengompromikan syari’ah dan hakikah. Ada dua hal yang dikritiknya, yaitu tentang styathahiyat yang dikatakan oleh sufi semi falsafi, dan cara berpakaian mereka yang menyerupai orang miskin, sementara pada saat yang sama tindakan mereka bertentangan dengan pakaiannya. Dia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting daripada pakaian lahiriah (al-Qusyairi, 1940).
Tokoh sufi lain yang gencar menyerang “penyelewengan” dalam tasawuf adalah al-Harawi. Sikapnya yang tegas dan tandas terhadap tasawuf cukup dimaklumi, karena dia termasuk Hanabillah (pendukung Ahmad ibn Hanbal). Karyanya yang terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb al-‘Alamin.
Tokoh lainnya ialah al-Ghazali, pilihan al-Ghazali jatuh pada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi filosof Islam, sekte Isma’iliyah dan aliran Syi’ah, Ikhwan Shafa dan lain-lainnya. Corak tasawufnya adalah psiko-moral, yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihya’ ‘Ulumuddin, Bidayah al-Hidayah, dan sebagainya.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahiyat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, tersingkapnya tirai dan tersaksikannya Allah. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari pikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri.
Setelah tasawuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf sunni tersebut, maka pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Ibn khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawwuf falsafi mempunyai empat obyek utama, dan menurut Abu al-Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu:[8]
a.    Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya,
b.    Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib,
c.    Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluar biasaan,
d.   Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyat) (Ibn Khaldun, tt.).

Tokoh-tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al-wujud, Suhrawardi al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori Isyraqiyah (pancaran), Ibn Sabi’in dengan teori ittihad, Ibn Faridh dengan teori Cinta, Fana’ dan Wahdat al-Syuhudnya.
Pada abad VI dan (dilanjutkan) abad VII Hijriyah, muncul cikal bakal orde-orde (thariqah) sufi kenamaan. Thariqah terkenal yang lahir dan berkembang sampai dengan sekarang antara lain, thariqah Qadariyah yang diciptakan oleh Abd. Al-Qadir al-Jailani (471-561 H), thariqah Suhrawardiyah yang dicetuskan oleh Syihab al-Din Umar ibn Abdillah al-Suhrawardy (539-631 H), thariqah Rifa’iyah, yang dicetuskan oleh Ahmad Rifa’I (521 H), thariqah Syadzaliyah, yang dirintis oleh Abu al-Hasan al-Syadzily (592-656 H), thariqah Badawiyah, yang dicetuskan oleh Ahmad al-Badawy (596-675 H), thariqah Naqsyabandiyah, dirintis oleh Muhammad ibn Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H), dan lain sebagainya.
A.J. Arberry menyatakan, bahwa masa Ibn Araby, Ibn Faridh, dan al-Rumy adalah masa keemasan gerakan tasawuf, secara teoritis ataupun praktis. Pada masa ini terlihat pula tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan skandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya. Legenda-legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi, dan massa awam segera menyambut tipu muslihat itu, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali (A. J. Arberry, 1978). 
Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at dan hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.[9]
Bersamaan dengan hal tersebut muncullah Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan tersebut. Dia terkenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan tandas berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah. Ibn Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme) (Ibn Taimiyah, 1986).
Ibn Taimiyah masih mentolelir ajaran fana’, suatu tingkatan yang diperoleh oleh orang yang arif tatkala kesadarannya hilang, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Fana’ yang seperti ini sering dialami oleh sebagian muhibbin (pecinta Tuhan) dan sebagian ahli suluk (yang meniti jejak menuju ma’rifat). Fana’ yang ditolelir adalah yang disertai tauhid (Ibn Taimiyah, 1896).
Ibn Taimiyah membagi fana’ menjadi tiga bagian: Fana’ Ibadah (fana’ dalam beribadah), fana’ Syuhud al-Qalb (fana’ pandangan hati), fana’ Wujud ma Siwa Allah (fana’ wujud selain Allah). Terhadap fana’ yang pertama dan kedua, masih dalam batas kewajaran (psikis atau agamis), sedang fana’ ketiga dianggap menyeleweng dari dari ajaran Islam, dianggap kufur.[10]

C.    Penutup

1.         Kesimpulan

·      Tasawuf Islam adalah bersumber dari agama Islam sendiri, dari Alquran al-Karim, al-Hadits, contoh kehidupan Rasulullah SAW dan kehidupan para sahabat beliau. Dalam perkembangannya, tasawuf berasal dari sebuah gerakan zuhud yang kemudian berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri, ada yang mengatakan tasawuf terpengaruh dari unsur Nasrani, Persia, India filsafat, dan lain sebagainya. Namun terlepas dari semua itu, pada kenyataannya tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri yang maisng-masing zaman mempunyai corak dan karakteristiknya masing-masing.
·      Pada awal pembentukannya yang dimulai sekitar abad I dan II Hijriyah, dengan tokoh-tokohnya yang bersinar antara lain Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham, Sufyan al-Sauri, dan Rabi’ah al-Adawiyah. Pada masa ini kata zuhud lebih populer ketimbang kata tasawuf.
·      Kemudian tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah lebih mengarahkan pada ciri psikomoral dan perhatiannya diarahkan pada moral serta tingkah laku sehingga sudah merupakan mazhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri. Ada 2 aliran yang berkembang yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi. Masa ini dinamakan dengan masa pengembangan.
·      Pada masa konsolidasi ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan dan berkembang sedemikian rupa.
·      Kemudian pada abad VI Hijriyah tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
·      Selanjutnya pada masa pemurnian, tampillah Ibnu Taimiyah yang menentang ajaran-ajaran sufi yang dianggapnya menyeleweng dari ajaran Islam. Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah SAW, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada umumnya.

2.         Saran

Tak ada gading yang tak retak, begitupun manusia tak ada yang sempurna, bahkan makalah kami yang sederhana ini pun tak luput dari kesalahan. Maka dari itu di akhir kata, kami mohoh maaf yang sebesar – besarnya atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada.
Saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat dan berkah bagi kita semua. Amiiin.
Daftar Pustaka
Jamil, M.,  Akhlak Tasawuf,  Ciputat : Referensi, 2013.
Permadi, K.,  Pengantar Ilmu Tasawwuf, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sukardi,  Kuliah-kuliah Tasawuf,  Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.  
Syukur, Amin,  Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.












[1] M. Jamil, Akhlak Tasawuf,  (Ciputat : Referensi, 2013), hlm. vii.
[2] Sukardi, Kuliah-kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000),  hlm. 5.
[3] K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawwuf,  (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 38-41.
[4] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 31-32.
[5] Ibid, hlm. 33.

[6] Ibid, hlm. 36.
[7] Ibid, hlm. 36.
[8] Ibid, hlm. 40.
[9] Ibid, hlm. 42.
[10] Ibid, hlm. 42-43.
1 Komentar untuk "Sejarah Perkembangan Tasawuf"

apa landasan amal keagamaan secara sungguh - sungguh yng menjadi motif zuhud ?

Back To Top