Sistem Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan

 Sistem Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan dunia ilmu
 Sistem Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan dunia ilmu


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH


          Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk, hukum Islampun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum Islam dengan berbagai cara. Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia mengalami pasang surut.
Hukum Islam bukan satu-satunya sistem hukum yang berlaku, tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini saling mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional.
Perkembangan hukum Islam pada masa reformasi sampai sekarang ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi daerah.







B. RUMUSAN MASALAH

      1.      Bagaimana sistem peradilan agama pada masa kemerdekaan ?
      2.      Bagaimana perkembangan peradilan agama pada masa kemerdekaan sampai sekarang?
     

      C.     TUJUAN  PENULISAN


      1.  Untuk  mengetahui sejarah Peradilan Islam Pada Awal Kemerdekaan
       2. Untuk mengetahui bagai mana perkembanagan Peradilan agama pada masa kemerdekaan hingga sekarang




















BAB II

PEMBAHASAN


       A.     PERIODEAWAL KEMERDEKAAN


                Sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mulai bangkit dan berangsur-angsur menghilangkan politik hukum pemerinahan Kolonial Belanda, yang sudah barang tentu sangat merugikan kepentingan bangsa Indonesia, Khususnya umat Islam. Sejalan dengan itu Departemen Agama yang merupakan bentuk lain dari jabatan agama yang sudah ada pada masa kesultanan Islam, ditempatkan sebagai bagian dari pemerintahan. Legislasi pembetukannya diatur melalui penetapan pemerintah Nomor 1 tertanggal 3 Januari 1946.
Dengan terbentuknya Departemen Agama, terjadi pula pereseran kebijakan. BInstitusi Mahkamah Islam Tinggi ditarik dari lingkungan Departemen Kehakiman dan selanjutnya dilimpahkan ke Departemen Agama. Hal itu diatur melalui penetapan Pemerintah nomor 5 sampai dengan tanggal 25 Maret 1946, yang berbunyi pada masa colonial Belanda tidak ada pegawai pengadilan agama yang mendapat gaji tetap atau honorarium dari pemerintah Hindia Belanda bukan sebagai ketua pengadilan agama, akan tetapi dalam kedudukannya sebagai Islamitisch adviseur pada landraad. Adapun setelah kemerdekaan, anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah. (Mukhlas,2011,141)
Akan tetapi disisi lain, dalam menempatkan peradilan agama, terdapat kebijakan yang berbeda. Melalui UU No. 19 Tahun 1948, Peradilan Agama Pernah dicoba untuk ditempatkan dalam peradilan umum yang istimewa . Hal tersebut jelas termaktub dalam UU No. 19 Tahun 1948 yang berbunyi: “…perkara perdata antara orang islam yang menurut hukum yang hidup harus diputus menurut hukum agama islam, harus diperiksa dan diputus dalam semua tingkatan peradilan ( pengadilan negeri, Pengadilan Tingi, dan Mahkamah Agung  ) te4rdiri atas seorang hakim yang beragama islam sebagai ketua dan 2 orang hakim ahli agama Islam”.
Melalui UU No. 9 Tahun 1948 itulah, Mulai dikenal adanya 3 (tiga)
lingkungan lembaga peradilan yang Khas Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni; Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah, dan Pwradilan Ketentaraan.
UU No. 19 Tahun 1948 yang belum sempat dinyatakan berlaku itu menghendaki dihapusnya susunan peradilan agama yang sudah ada dan dimasukkan kepengadilan negeri, tetapi penyelesaiannya materi h8ikumnya ditampung secara khusus agar keputusannya tidak menyimpangg dari ketentuan syariat islam. Beruntung Undang – undang itupun “ layu sebelum berkembang” , bahkan dapat dikatakan “mati sebelum terlahir”. Karena sampai lahirnya Undang– Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun 1948 belum sempat diberlakukan.(Mukhlas,2011,141)

Dalam tatanan hukum di Indonesia pasca kemerdekaan, keberadaan peradilan agama itu mulai diakui eksistensi dan peranannya. Hal itu dapat diamati dengan lahirnya Undang – Undann Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun 1961  yang mengatur tentang tindakan pengadilan sipil. Sementar itu, untuk memenuhi kehendak masyarakat Aceh, dalam rangka meredakan suasana keamanan dan ketertiban , dibentuk mahkamah syari’ah yang tertuang dalam PP Nomor 29 Tahun 1957. Kebijaksanaan politik pemerintah, membentuk  mahkamah syar’iyah untuk wilayah Aceh tersebut dianggap sangat penting dalam mengantisipasi berbagai persoalan umat islam diwilayah hukum lainnya. Untuk itu, jangkauan wilayah hukum mahkamah syar’iyah  diperluas meliputi wilayah hukum diluar Jawa dan Madura serta diluar sebagian Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Secara resmi ketentuan itu diatur dalam PP Nomor 45 Tahun 1957 yang dikeluarkan pada tanggal 5 Oktber 1957. Tampaknya di dalam PP Nomor 45 Tahun 1957 itu masih tersimpan semangat “receptiv theorie”yang justru sangat merugikan kepentingan umat islam. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 4 ayat ( 2 ) PP Nomor 45 Tahun 1957 yang berbunyi: “ Pengadilan Agama Islam memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama islam dan segala perkara yang menurut ‘hukum yang hidup’ diputus menurut agama islam , yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, …”.
Dengan demikian, dapat tidaknya pengadilan agama islam menyelesaikan perkara umat islam, tergantung diterima tidaknya hukum islam sebagai hukum oleh adat setempat. Di samping itu, dengan lahirnya PP Nomor 45 Tahun 1957 tersebut , berarti peradilan agama di Indonesia memiliki nama dan berbagai peraturan yang beragam.


Sejak keluarnya Dekrit Presiden Tahun 1959 dan Undang – Undang Dasar kembali kepada UUD 1945, pelaksanaan bidang peradilan merupakan implementasi dari kekuasaan kehakiman sebagaimana digariskan dalam pasal 24 ayat ( 2 ) UUD 1945 yang berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan lain – lain badan kehakiman menurut Undang – Undang”.

Pengakuan terhadap peradilan agama sebagai salah satu lembaga peradilan yang melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dalam bidang peradilan terjelma dengan lahirnya UU No. 19 Tahun 1946. Bahkan dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974, yang menggantikan UU No. 19 Tahun 1946, peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4 ( empat ) lingkungan peradilan yang sah , yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer. Dengan demikian posisi peradilan agama memiliki kekuatan dan derajat yang sama dengan lembaga – lembaga peradilan lainnya sebagai peradilan Negara. (mukhlas,2011,144)

Dalam perkembangannya, kekuasaan dan kewenangan peradilan agama itu mulai mendapat porsi, sejalan dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974, yang pelaksanaanya diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975, dengan melimpahkan segala jenis perkara perkawinan orang – orang yang beragama islam ke pengadilan agama. Begitu pula PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan, memberi kekuasaan kepada peradilan agama untuk menyelesaikan perkara perwakafan tanah milik. Namun demikian, dalam praktiknya, peradilan agama belum menunjukkan kemandiriian dalam melaksanakan rupoksi peradilan sebagai pengdilan Negara yang independen. Terlebih dengan terdapanya ketentuan tentang pengukuhan pada pasal 63 ayat ( 2 ) UU No. 1 Tahun 1974, yang mengharuskan setiap keputusan pengadilan agam dikukuhkan oleh pngadilan negeri.

Secara sosio politik, keadaan tersebut merupakan langkah surut ke masa Kolonial Belanda, sebagai akibat kuatnya pengaruh receptive theorie, yang secara tidak langsung menempatkan peradilan agama sebagai pelengkap peradilan umum. Dapat dibayangkan, bagaimana “nasibnya” keputusan pengadilan agama apabila suatu saat tidak mendapatkan pengukuhan dari peradilan umum. Hal itu jelas sangat merugikan pihak – pihak yang tengah berperkara , yang menginginkan perkaranya dapat segera mendapat kepastian hukum. Di samping itu, pengadilan agama pun akan menerima akibat yang ditimbulkan oleh adanya keidak pastian keputusan itu , antara lain akan terjadinya degradasi kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan. Mereka tidak akan mempercayai lagi lembaga peradilan agama sebagai tempat menyelesaikan perkara dan bentengnya penegakan hukum dan keadilan.

Bagaimanapun, eksistensi peradilan agama itu tidak terlepas dari lemahnya regulasi yang secara khusus mengatur mengenai: susunan, kekuasaan, dan acara peradilan agama. Karena eksistensi peradilan itu sangat tergantung pada adanya regulasiketiga unsure peradilan tersebut, karena itu dalam praktiknya, wujud peradilan agama tidak berbeda dengan lembaga peradilan yang “ kerempeng”. Karena setiap putusan pengadilan agama tidak memiliki kekuatan mengikat untuk dipaksakan, sehingga apabila terjadi salah satu diantara pihak yang berpekara tidak mau tunduk ( membangkang ) kepada putusan pengadilan agama itu, maka harus dimintakan terlebih dahulu kekuatan hukum untuk dijalankan dari pengadilan negeri dalam bentuk pengukuhan. Namun demikian, pengukuhan itu sendiri bersifat fakultatif, yakni diperlukan hanya kalau dimintakan oleh pihak yang berkepentingan. Oleh sebab itu, putusan yang telah dilaksanakan denan sukarela tidak memerlukan permohanan untuk pengukuhan kepada pengadilan negeri.


Lembaran baru bagi pencerahan dunia peradilan aAgama di Indonesia mulai tergores, karena pada tanggal 29 Desember 1989 RUUPA ( Rancangan Undang – Undang Peradilan Agama ) yang sebelumnya ditunggu – tunggu dengan pengharapan yang beragam, disahkan menjadi Undang – Undang Negara, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama. Menurut Ismail Suny, UU No. 7 Tahun 1989 itu merupakan bukti nyata besarnya pemahaman dan perhatian pemerintahan terhadap aspirasi umat Islam, yang mendambakan adanya undang – undang yang secara khusus mengatur tentang peradilan agama. (suny,1933,34 )
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tersebut membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kebereadaan peradilan Agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri sama tinggi dengan pengadilan – pengadilan lainnya. Dengan demikian, petadilan agama sebagai peradilan khusus yang mengadili perkara – perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat tertentu yaitu orang – orang yang beragama islam menjadi sejajar dengan peradilan – peradilan lainnya di Indonesia ( PN PTUN dan PM)

Dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 1989, Hieraki pengadilan dalam lingkungan peradilan agama memiliki hubungan ganda, yakni :  (1) hubungan fungsional dengan Mahkamah Agung, yaitu segi yuridiksi – admonistrasi peradilan; (2) hubungan structural dengan Departemen Agama, yaitu segi admonistrasi umum, yang meliputi organisasi kelembagaan, kepegawaian, sarana, dan financial. UU No. 7 Tahun 1989 ini sekaligus menghapus sebutan Pengadilan agama senagai “pengadilan semu”, pengadilam kerempeng, “hidup segan mati pun tak mau”. Karena pengadilan agama telah memiliki regulasi yang kuat, yang mengatur tentang: susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.



Pergeseran kekuasan  dari rezim orde baru ke pemerintahan orde reformasi,  serta membawa berbagai perubahan dalam ranah sosial, politik, dan hukum.  Perubahan mendassar pada bidang hukum yaitu dilakukannya amandemen  atas UUD 1945. Salah satu passal yang mengalami perubahan adalah pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :
“ Penyelenggaraan kekuasaan  kehakiman dilakukan oleh  Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan  Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi”.  Kemudian ketentuan konstitusi ditindaklanjuti  dengan  lahirnya UU no. 35 tahun 1999 tentang sistem peradilan satu atap, UU no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah diamandemen atas UU no.14 Tahun 1970 tentang pokok–pokok kekuasaan kehakiman dan UU no. 48 Tahun 2009 telah diamandemen atas UU no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. (Mukhlas,2011,151)
Sesuai dengan tuntutan  reformasi dalam ranah hukum, sekaligus wujud nyata pengawalan  terhadap perubahan mendasar  dalam sistem peradilan yaitu  dari sistem peradilan mendua menjadi peradilan satu atap.Berdasarkan ketentuan  Pasal 21 ayat (1) UU no. 48  Tahun 2009, maka kewenangan dalam bidang organisasi, administrasi dan finansial lembaga peradilan agama berpindah  dari lembaga eksekutif, yaitu direktorat pembina Peradilan Agama Departemen Agama kepada lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Agung. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan  dalam bidang organisasi meliputi: kedudukan, tugas, fungsi kewenangan  dan struktur organisasi.
Pembinaan peradilan dalam  sistem satu atap oleh Mahkamah Agung itu merupakan upaya  untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan pengadilan  yang tidak memihak (impartial). Dengan lahirnya perundang-undangan maka, terdapat berbagai akibat hukum yang bersinggung langsung dengan posisi Peradilan Agama. Pertama,  secara organisatoris, administratif dan finansial, badan peradilan agama berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal’ ini mengandung bahwa peradilan Agamasejak proklamasi kemerdekaan RI berada dibawah kekuasaan Departemen Agama,  bergeser dan beralih ke dalam wilayah kekuasaan Mahkamah Agung. Kedua, sejak dikeluarkannya reformasi sistem hukum dan peradilan,  termasuk yang bersinggungan dengan pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama menjadi satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung.( Mukhlas,2011,152)
Berkenaan dengan  kebijakan sistem peradilan satu atap itu, maka dilakukan langkah adaptasi lainnya, terutama yang berkaitan dengan badan peradilan agama. Maka dilakukannya amandemen sebanyak dua kali terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama telah meletakan agama telah meletakan dasar kebijakan bahwa  segala  urusan mengenai  peradilan agama, pengawasan tertinggi, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial. Yaitu urusan organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,  serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dimana perubahan  untuk memperkuat prinsip dasar  dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan  hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
Secara umum perubahan kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006  tentang PeradilanAgama pada dasarnya untuk mewujudkan  penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan  sistem peradilan yang terpadu.(bisry,2003,46)











BAB III

KESIMPULAN

       A.       Kesimpulan

Perkembangan peradilan  di Indonesia pada masa orde baru sangat berarti  ketika diundangkan dan diberlakukannya UU  No. 14 Tahun 1970 dan UU No.1 Tahun 1989 diundangkan dan diberlakukan sehingga memberikan tempat  kepada Peradilan Agama di Indonesia sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan  kekuasaan kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 Memperbesar kekuasaan  peradilan khususnya dibidang perkawinan. Salah satu aspek yang terkait  dengan perkembangan peradilan islam di Indonesia  yaitu dirumuskannya  kompilasi  Hukum Islam ia merupakan bentuk penyelesaian  masalah keragaman hukum substansial dalam melaksanakan tugas dan wewenang  peradilan di bidang perkawinan, kewarisan,  dan perwakafan dikalangan orang-orang  yang beragama islam.
Rincian mengenai kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yaitu mencakup kewarisan, perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak dan ekonomi syari’ah. Asas-asas Peradilan Agama sejak amandemen orang orang yang berperkara pada pengadilan yaitu orang-orang yang beragama Islam yang mana penyelesaian perkara tersebut  di pengadilan tingkat pertama dan kedua.  Wilayah yang berkuasa dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara disesuaikan dengan kedudukan  daerah hukumnya masing-masing. Kewenagan mengadili dalam Peradilan Agama hanya perkara tertentu yaitu perkara yang biasa terjadi pada masyarakat islam. Dalam mengadili sengketa Hak milik kewenangan peradilan agama dalam menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009. Dalam memeriksa perkara  terdapat kewenangan  yang menuntut adanya penundaan pemeriksaan dan penyelesaian dua perkara



DAFTAR PUSTAKA
          Cik Hasan Bisri. 2003. Peradilan Agama di Indonesia; Jaklarta:PT. Raja GrafindoPersada.
Sunaryo Mukhlas, Oyo. 2011. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: 2011
            Sunny, Ismail.1996. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Kenegaraan Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press
            WJS. Poerwadarminta.1967. Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Jakarta: Balai pustaka





Tag : Ilmu Hukum
0 Komentar untuk " Sistem Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan"

Back To Top