Mengetahui Hubungan Sebab-Akibat dalam Perbuatan Pidana dunia ilmu |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar sesama karena manusia adalah makhluk sosial. Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk egois sehingga apabila sifat itu terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidak baraturan yang menyebabkan kehancuran. Oleh karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban satu antar lainnya. Sesuai dengan saran tujuan KUHP nasional “untuk mencegah penghambatan atau penghalang datangnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia yaitu dengan penentuan perbuatan-perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh dilakukan, serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu.Bila kita ingin menjauhi sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu supaya tidak salah dalam memilih perbuatan. Maka dalam makalah ini penulis akan membahas lebih dalam tentang perbuatan pidana.
B. Uraian Materi
1. Pengertian Perbuatan Pidana2. Hubungan Sebab-Akibat
3. Sifat Melawan Hukum
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Pengertian Perbuatan Pidana
2. Mengetahui Hubungan Sebab-Akibat (dalam Perbuatan Pidana)
3. Mengetahui Sifat Melawan Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2008:54).Istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana yakni “tindak pidana”. Istilah ini karena tumbuhnya dari pihak kementrian kehakiman yang sering dipakai dalam perundan-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal tindak tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata yang tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu pula dipakai kata perbuatan. Contoh : UU no. 7 tahun 1953n tentang Pemilihan Umum (pasal 127, 129 dan lain-lain).
B. Hubungan Sebab Akibat
Dilihat dari cara perumusannya, tindak pidana dapat dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan tingkah laku tertentu, artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud pidana tertentu yang terlarang. Sedangkan tindak pidana materiil ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik berat larangan pada menimbulkan akibat terlarang. Terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna adalah apabila akibat terlarang telah timbul dari tingkah laku.Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu (Chazawi, 2005:214) :
1. Terwujudnya tingkah laku;
2. Terwujudnya akibat konstitutif;
3. Adanya hubungan kausal antara tingkah laku dengan akibat konstitutif.
Dalam tindak pidana materiil terdapat unsur akibat konstituf. Apabila terdapat akibat konstitutif, perlu ditelusuri apa yang menjadi sebab dari akibat konstitutif itu maksudnya untuk menentukan siapa yang dipertanggungjawabkan atas terjadinya tindak pidana. Tidaklah mudah untuk menentukan faktor yang manakah yang menyebabkan akibat tindak pidana.dalam menghadapi persoalan mencari dan menetapkan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibatnya, ajaran kausalitas menjadi penting. Kausalitas atau causalitet berasal dari pokok kata causa yang artinya sebab. Dalam Ilmu Hukum Pidana teori causalitet dimaksudkan untuk menentukan hubungan obyektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Ajaran kausalitas adalah suatu ajaran yang berusaha untuk mencari jawaban dari masalah akibat tindak pidana.ajaran kausalitas dapat membantu para praktisi hukum terutama hakim dalam mencari dan menentukan ada atau tidak adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat yang timbul (Saefullah, 2004:17).
Ajaran kausalitas selain penting dalam hal mencari dan untuk menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan akibat dalam tindak pidana materiil, juga penting dalam hal mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya. Tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu tindak pidana bentuk pokok yang ditambah dengan satu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari perbuatan, baik unsur akibat yang menjdaikan tindak pidana lebih berat maupun menjadi lebih ringan.
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menetukan hubungan kausal dalam suatu peristiwa pidana, ada tiga teori yang digunakan, yaitu :
1. Teori Conditio Sine Quanon.
Teori Conditio Sine Quanon (teori syarat mutlak) dikemukakan oleh Von Buri Presiden Reichsgericht Jerman. Buri mengemukakan, musabab adalah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat (Saefullah, 2004:17). Teori ini juga disebut teori ekuivalen, karena menurut teori ini, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (Equivalent) terhadap timbulnya suatu akibat. Penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi. Kalau satu saja faktor tersebut dihilangkan, maka akibatnya mungkin akibatnya tak ada atau lain dari yang terjadi. Selain itu teori ini juga disebut dengan bedingungstheorie karena dalam ajran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dan mana faktor penyebab (causa). Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
2. Teori Generalisasi.
Termasuk ke dalam teori ini adalah teori adequate yang dikemukakan oleh Von Kries. Menurut Kries, musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut (Moeljatno, 2008:96). Teori ini pada pokoknya menjelaskan bahwa teori Von Buri terlalu luas, maka harus dipilih satu faktor saja yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai sebab (causa) (Farid, 2007:210). Teori ini mengajarkan bahwa dari rangkaian faktor-faktor yang oleh Van Buri diterima sebagai causa, maka dicari faktor yang dipandang yang dipandang paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang bersangkutan (Farid, 2007:211).
3. Teori Individualisasi.
Teori Individualisasi ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkrit (post factum) (Chazawi, 2005:220-221). Teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Menurut Remelink, teori individualisasi disebut juga teori pengujian causa proxima. Menurut ajaran ini dimengerti sebagai sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat (sebab yang dapat dipikirkan lepas atau berjarak dari akibat disebut causa remota) (Saefullah, 2004:19). Sebab dibatasi dengan satu atau beberapa peristiwa/faktor saja yang dianggap berpadanan, paling dekat atau seimbang dengan terjadinya akibat. Tidak semua sebab dapat menimbulkan akibat, hanya sebab yang paling dekat dengan timbulnya akibat.
C. Sifat Melawan Hukum
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas legalitas. Menurut D. Schaffmeister (2003:39), pembagian melawan hukum itu ada 4 kelompok :a. Sifat melawan hukum secara umum
Yaitu semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat di pidana, jadi tidak perlu dicantumkan dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh : pembunuhan.
b. Sifat melawan hukum secara khusus
Yaitu pada pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. jika tidak dapat dibuktikan mak bisa divonis putusan bebas.
c. Sifat melawan hukum secara materil
Yaitu bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman didalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
d. Sifat melawan hukum secara formil
Yaitu seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat kita tarik beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut :1. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
2. Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu :
a. Terwujudnya tingkah laku;
b. Terwujudnya akibat konstitutif;
c. Adanya hubungan kausal antara tingkah laku dengan akibat konstitutif.
3. Hubungan sebab-akibat dimaksudkan untuk menentukan hubungan obyektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Ajaran kausalitas adalah suatu ajaran yang berusaha untuk mencari jawaban dari masalah akibat tindak pidana.ajaran kausalitas dapat membantu para praktisi hukum terutama hakim dalam mencari dan menentukan ada atau tidak adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat yang timbul;
4. Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas legalitas, dan diklasifikasikan menjadi empat :
a. Sifat melawan hukum secara umum;
b. Sifat melawan hukum secara khusus;
c. Sifat melawan hukum secara materil;
d. Sifat melawan hukum secara formil.
B. Saran
Alhamdulillah, telah selesai pembahasan dari makalah ini. Dalam perkembangannya tentu tidak lepas dari keluputan baik dari segi penulisan, pengambilan referensi, dan penuturan pemakalah tentang tema yang terkai. Untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran anda sebagai pendorong bagi kami agar kami bisa menulis lebih baik lagi di masa yang akan datang.DAFTAR PUSTAKA
Chanzawi, Adami. 2005, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: Rajawali Pers.
Farid, A. Zainal Abidin. 2007, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika
Moeljatno. 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Saefullah. 2004, Konsep Dasar Hukum Pidana, Buku Ajar, Malang: UIN Malang.
Schaffmeister, D. 2003, Hukum Pidana, di terjemahkan oleh J. E. Sahetapy, Yogyakarta: Liberty.
Tag :
Ilmu Hukum
0 Komentar untuk " Mengetahui Hubungan Sebab-Akibat dalam Perbuatan Pidana"